REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memproyeksikan kondisi perekonomian pada 2014 akan membaik dibandingkan tahun ini. Namun, Indonesia masih tetap harus waspada akan adanya resiko pada perekonomian.
Direktur Grup Kebijakan Moneter BI, Juda Agung, mengatakan transaksi berjalan memiliki kecenderungan membaik pada 2014. "Dengan ekonomi global terutama Cina yang trennya masih melemah, tentu saja mempunyai implikasi pada ekonomi domestik," ujar Juda dalam kunjungannya ke Redaksi Harian Republika, Rabu (23/10). Dalam kunjungannya tersebut, Juda didampingi oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah dan Direktur Departemen Statistik Domestik Gantiah Wuryandani.
Tahun ini defisit transaksi berjalan diprediksikan mencapai 3,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu untuk 2014, defisit transaksi berjalan akan turun ke angka 2,7 persen dari PDB. Defisit diperkirakan semakin membaik pada 2015, yakni di angka 1,9-2 persen dari PDB. Untuk mencapai angka tersebut, Juda mengatakan perlunya kebijakan yang mendukung perbaikan. "Transaksi berjalan perlu menjadi fokus dari kebijakan moneter karena ini menjadi fundamental dari nilai tukar," ujar dia.
Ia mengatakan transaksi berjalan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor cyclical dan faktor struktural. Untuk faktor struktural, BI harus bekerja sama dengan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor. "Kalau dibandingkan dulu, sekarang kalau PDB tumbuh 1 persen, impor akan menjadi lebih tinggi dibanding dulu. Kita kecanduan impor," ujar dia.
Demikian pula di sisi ekspor. Jika kondisi perekonomian global membaik, ekspor Indonesia belum tentu membaik karena saat ini ekspor Indonesia sangat bergantung pada sumber daya alam. Padahal dulu ekspor manufaktur masih diandalkan. Berkurangnya ekspor produk manufaktur salah satunya disebabkan oleh upah pekerja yang meningkat.
Inflasi tahunan pada 2014 juga akan kembali pada kisaran target BI, yakni 4,5 persen +- 1 persen. Angka tersebut jauh di bawah inflasi pada 2013 yang diperkirakan mencapai 9-9,8 persen. Inflasi yang tinggi pada 2013 utamanya disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Juda mengakui pada awal 2014 hingga bulan Juni, inflasi tahunan masih di angka 8 persen. Angka tersebut akan turun pada Juli 2014 karena harga BBM naik pada Juli 2013. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi pada 2014 diprediksikan berada di angka 5,8-6,2 persen. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi 2013 diprediksikan mencapai 5,5-5,9 persen. Pertumbuhan ekonomi 2014 akan disumbang oleh Pemilihan Umum (Pemilu). "Pemilu menyumbang 0,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 2014," ujar Juda.
Meskipun ekonomi Indonesia memperlihatkan titik terang, Indonesia masih tetap harus waspada. "Kita tetap harus waspada, jangan terjebak di comfort zone," ucapnya.
Salah satunya disebabkan oleh tapering off Amerika Serikat (AS) yang kemarin ditunda akan dilakukan pada Desember 2013 atau Januari 2014. Penghentian pembelian obligasi oleh the Fed juga diperkirakan terjadi di kuartal III-2014. "Kita harus cermati itu resiko selalu akan muncul," kata dia.
Ia juga memperkirakan the Fed fund akan naik jika terdapat tanda-tanda inflasi di AS. Ketika the Fed fund naik, pasar akan bergejolak. Arus modal dari negara berkembang akan kembali ke AS dan negara maju lainnya.
"Tren belakangan ini negara maju pertumbuhan ekonominya membaik, sementara negara berkembang mengalami pelemahan," ujar dia. Dengan membaiknya negara maju, peluang investasi di negara tersebut akan terbuka lebar sehingga terjadi pergeseran modal dari negara berkembang ke negara maju.