Rabu 16 Oct 2013 09:45 WIB

Sawit Watch: CPO Ramah Lingkungan untuk Siapa?

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu produk yang diajukan Indonesia ke dalam EG list
Minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu produk yang diajukan Indonesia ke dalam EG list

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kengototan pemerintah memasukkan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke dalam daftar produk ramah lingkungan (environmental good list/EG List) di pertemuan APEC awal Oktober silam dipertanyakan. Head of Campaign and Public Education Department Sawit Watch Bondan Andriyanu mengatakan kengototan pemerintah tak lebih dari sekadar memenuhi permintaan pasar.  "Kita selalu pertanyakan, ramah lingkungan untuk siapa dan atas dasar apa?," ujar Bondan kepada ROL, Rabu (16/10).

Dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Rabu (16/10), negara-negara anggota APEC akhirnya menyetujui usulan Indonesia terkait CPO. Usulan itu tertuang dalam dokumen Promoting Products with Contribute to Sustainable and Inclusive Growth through Rural Development and Poverty Alleviation. Dengan strategi tersebut, Indonesia berharap CPO masuk ke dalam EG List mengikuti 54 produki sebelumnya dan dapat memperoleh tarif bea masuk maksimal 5 persen di seluruh negara anggota APEC. 

Sawit watch menilai permasalahan yang melingkupi kelapa sawit tidak melulu terkait komoditasnya, melainkan sistem untuk membangun kelapa sawit di Indonesia.  "Kalau sistem dibuat serius, hulu hilir ini akan serius.  Jadi, bukan atas dasar pasar internasional meminta itu dan kita seperti kegenitan juga membuat itu. 

Tak hanya ramah lingkungan, kita juga selalu menuruti inisasi semacam sertifikasi RSPO, ISPO dan lain-lain yang hanya atas dasar permintaan pasar, bukan membangun kelapa sawit yang berkelanjutan," papar Bondan.

Secara keseluruhan, Bondan menyebut permasalahan terkait kelapa sawit harus dilihat di tataran lokal. Khususnya dari segi kesejahteraan petani dan perusahaan lokal.  Terlebih dari 12,5 juta ha perkebunan sawit di Tanah Air, kata Bondan, sekitar 70 persen dikuasai oleh 30 grup besar. Sedangkan sisanya sekitar 30 persen dimiliki petani lokal dan plasma. 

"Itu bukti ketimpangan. Perlu perbaikan sistem ke bawah sehingga bisa dirasakan langsung petani. Baru setelah itu, kita bicara tindak lanjut.  Kalau atas nama pasar, percuma," ujar Bondan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement