Selasa 24 Sep 2013 13:28 WIB

UU JPSK Perlu Dinomorsatukan

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
LPS
LPS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) dianggap sangat diperlukan oleh Indonesia. Oleh karena itu, RUU diharapkan segera dirampungkan.  "Tidak ada yang benar-benar krusial kecuali UU JPSK," kata Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution, dalam seminar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai Bank Resolution in Deposit Insurance Regime: LPS Mandate and Accountability, Selasa (24/9).

UU JPSK diperlukan bila terdapat suatu bank gagal yang berdampak sistemik. Jika suatu bank dianggap memiliki masalah sistemik, pengawas bank akan meminta forum komite stabilitas sistem keuangan (FKSSK) untuk mengambil keputusan mengenai bank tersebut sebelum diserahkan ke LPS. "Dengan tidak adanya UU JPSK, terus terang kalau ada bank kelas menengah atau bank besar roboh, harus ada pengambil keputusan, dasar hukumnya kebingungan," ujar Darmin.

Darmin mengatakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI pernah membuat nota kesepahaman (MoU) mengenai hal tersebut. Namun, saat Perpu JPSK dibuat, MoU tersebut dicabut.

"Kita masih punya sedikit celah dalam UU LPS. Bisa mengambil keputusan soal sistemik tapi tak jelas keputusannya," ujar dia. Ia berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi sehingga pemangku kebijakan tidak kelabakan mengambil keputusan.

Kepala LPS, Mirza Adityaswara, setuju dengan adanya UU JPSK. Menurutnya, dengan dibuatnya UU mengenai hal tersebut, FKSSK akan lebih terlindungi dalam mengambil keputusan. "Alangkah baiknya kalau pengaturan yang lebih detail itu ada di tataran UU supaya lebih kuat. Entah apapun itu namanya. Kalau namanya bukan UU JPSK, ya namanya UU lain lah, tapi ada mengenai pasal-pasal yang lebih detail mengenai pengaturan mekanisme penanganan krisis," tutur Mirza.

Mekanisme penanganan krisis sebenarnya sudah ada di beberapa pasal dalam UU OJK. Namun, UU JPSK tetap masih diperlukan mengingat kondisi perekonomian global saat ini. Negara-negara berkembang mengalami kekurangan likuiditas karena negara maju mulai memperlihatkan adanya perbaikan ekonomi. "Jadi alangkah baiknya kalau mekanisme penanganan krisis itu ada. Lebih baik kan sedia payung sebelum hujan," ujar Mirza.

Pengamat Creco, Raden Pardede, mengatakan, resiko sistemik belum terlihat di perbankan nasional walaupun pengetatan likuiditas sudah terjadi. Ia mengatakan bank kecil biasanya lebih berisiko, tetapi ia belum melihat ada kecenderungan akan jatuh. Hal tersebut terlihat dari resiko kredit bermasalah (NPL) yang masih rendah. Selain itu capital adequacy ratio (CAR) masih baik.

"Bukan hanya CAR, tapi rasio antara equity dibandingkan aset itu 13 persen. Masih kuat. Di negara lain 3 persen," ujar dia. Salah satu alasan kecilnya rasio tersebut adalah produk keuangan di Indonesia yang masih klasik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement