Ahad 22 Sep 2013 13:30 WIB

Perpanjangan Kontrak Blok Masela Langgar Hukum

Ladang migas
Foto: Sony Soemarsono/Republika
Ladang migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mengingatkan, pemerintah bakal melanggar hukum jika memberikan perpanjangan konsesi Blok Masela kepada perusahaan asal Jepang, Inpex Masela Ltd sebelum waktunya.

"Pemerintah harus konsisten dan tidak melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri," katanya di Jakarta, Ahad (22/9).

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu, pemerintah tidak selayaknya mencari celah hukum agar bisa memperpanjang kontrak Masela.

"Tidak boleh begitu. Peraturan sudah ada, kenapa dicari celahnya. Justru hukum harus ditegakkan dan malah mencurigakan kalau sampai harus mencari-cari celah seperti itu," ujarnya.

Masa pengembalian investasi yang pendek, lanjutnya, tidak bisa menjadi alasan perpanjangan kontrak.

Pri mengatakan, permasalahan pengembalian investasi yang menjadi alasan, merupakan kesalahan Inpex sendiri dalam perencanaannya.

"Jangan masalah kontraktor ini menjadi tanggung jawab negara. Ini bakal menjadi preseden buruk bagi kontrak lain dan merugikan negara," tuturnya.

Menurut dia, pengajuan perpanjangan kontrak Masela tetap harus sesuai aturan yakni dilakukan paling lama 10 tahun sebelum kontrak berakhir atau pada 2018.

"Pemerintah yang akan datang, pastinya akan mempertimbangkan perpanjangan. Jadi, kenapa harus dipaksakan pada pemerintahan sekarang dengan cara melanggar hukum?" ucapnya, mempertanyakan.

Oleh sebab itu, ia melanjutkan, pemerintah mesti menolak dengan tegas perpanjangan yang diajukan Inpex.

"Kalau pemerintah memperpanjang, apa lagi yang bisa kita harapkan dari pemerintah? Peraturan yang dibuatnya sendiri saja dilanggar. Kalau begitu, tidak usah lagi bicara kemandirian, ketahanan energi, dan pemberdayaan perusahaan negara," tuturnya.

Deputi Komersial Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, saat ini, pihaknya masih menunggu perhitungan pengembalian investasi dari Inpex.

"Kami akan lihat dulu keekonomiaannya, sampai tahun berapa pengembalian investasinya," katanya.

Menurut dia, perpanjangan kontrak tidak harus selama 20 tahun, tergantung hasil perhitungan keekonomiannya nanti.

Ia menambahkan, sebelumnya memang sudah ada preseden proyek Tangguh yang diperpanjang kontrak bloknya sebelum 10 tahun habis masanya.

Namun, saat itu, Tangguh sudah mempunyai kesepakatan (HoA) penjualan gas dengan pembeli.

"Kalau Inpex ini, belum," tuturnya.

Widhyawan juga mengatakan, pihaknya menargetkan permasalahan perpanjangan kontrak Masela selesai akhir 2013.

Pada Rabu (18/9) di Istana Negara Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima kunjungan Presiden dan 'Chief Executive Officer' Inpex Corporation Toshiaki Kitamura.

Dalam pertemuan, Inpex menyinggung permintaan perpanjangan konsesi Blok Masela hingga 2048.

Sesuai Pasal 28 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, perpanjangan kontrak hanya boleh diajukan paling cepat 10 tahun.

Sementara, kontrak kerja sama Blok Masela antara pemerintah dan Inpex yang ditandatangani 1998, baru berakhir 2028 atau masih 15 tahun lagi.

Namun, Dirjen Migas Kementerian ESDM Edy Hermantoro mengatakan, pemerintah akan mencari celah hukum untuk memperpanjang kontrak Inpex, tanpa merubah PP-nya.

Alasannya, produksi Masela diperkirakan baru dimulai 2018 atau hanya 10 tahun sebelum kontrak berakhir 2028, sehingga belum cukup mengembalikan investasi yang mencapai 14 miliar dolar AS.

Blok Masela terletak di lepas pantai Laut Arafura sekitar 155 km arah barat daya Kota Saumlaki yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste.

Sesuai rencana pengembangan (POD) yang disetujui Desember 2010, proyek Masela akan memproduksikan gas 355 MMSCFD dan kondensat 8.400 barel per hari.

Inpex akan membangun kilang gas alam cair terapung dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun. Saat ini, hak partisipsi Masela dimiliki Inpex Masela Ltd yang sekaligus bertindak sebagai operator sebesar 65 persen dan Shell Corporation 35 persen.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement