REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah melakukan pembicaraan dengan sejumlah negara yang tergabung dalam kelompok G-20 terkait bilateral swap agreement (BSA). Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan paling tidak terdapat tiga negara yang telah dan akan menyepakati BSA dengan Indonesia. "Saya tidak boleh bilang sampai nanti diumumkan bersama-sama. Mudah-mudahan oke," ujar Chatib kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (9/9).
Sebagai gambaran, BSA adalah sebuah fasilitas bantuan keuangan jangka pendek dalam bentuk penukaran mata uang asing (foreign exchange swap). Tujuannya untuk memperkuat cadangan devisa negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran jangka pendek. Akhir Agustus silam, BI baru saja memperpanjang BSA dengan Bank of Japan (BoJ) sebagai agen Menteri Keuangan Jepang dengan nilai 12 miliar dolar AS. Cadangan devisa per Agustus 2013 sebesar 93 miliar dolar AS.
Chatib menjelaskan keberadaan BSA saat ini penting mengingat rentannya perekonomian akibat rencana tappering off quantitative easing (QE) oleh Bank Sentral Amerika Serikat. "Jadi, nanti kalau ada kejutan berkaitan dengan QE, kita punya resque packaged yang bagus," kata Chatib.
Namun berkaca dari pengalaman saat krisis ekonomi global 2008 silam, dana yang terdapat dalam BSA tidak digunakan. Dengan demikian, saat ini terdapat dana pinjaman sebesar 17,5 miliar dolar AS yang terdiri dari dana pinjaman siaga (standby loan) senilai 5,5 miliar dolar AS yang berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan Australia serta dana BSA dengan Jepang 12 miliar dolar AS.
Lebih lanjut, Chatib mengaku tidak mengetahui secara pasti waktu tuntasnya kesepakatan dengan negara-negara selain Jepang. "Follow up dan teknis ada di Bank Sentral. Nanti akan diumumkan," ujarnya.