REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Harga minyak mentah Brent tertahan pada level di atas 115 dolar AS per barel pada Jumat (6/9). Harga tertahan setelah kekhawatiran rencana serangan Amerika Serikat (AS) ke Suriah akan mempengaruhi pasokan minyak di Timur Tengah.
Investor juga mengamati data pekerjaan di AS yang dapat membantu menentukan waktu kapan bank sentral AS akan menari program stimulus besar-besaran. Brent untuk pengiriman Oktober turun tipis delapan sen menjadi 115,18 dolar AS per barel.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun delapan sen menjadi 108,29 dolar AS setelah naik 1,14 dolar AS per barel di sisi sebelumnya. Dalam waktu kurang dari dua bulan, perbedaan harga Brent premium terhadap minyak mentah mencapai delapan dolar AS.
Disparitas tersebut menyempit saat stok minyak mentah WTI di Oklahoma berada di titik terendah dalam 18 bulan. Disparitas kembali melebar setelah ketegangan di Timur Tengah meningkat dan pengurangan pasokan di Laut Utara, Libya, dan Irak.
Laporan Al-Arabiya mengatakan harga minyak juga akan dipengaruhi bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed) yang akan menarik program stimulus sehingga memperketat likuiditas di pasar global.
Nilai tukar dolar AS akan menguat. Ini akan menekan harga minyak bagi denominasi dolar tapi kurang terjangkau bagi pemegang mata uang lain.
Brent diperdagangkan dalam kisaran 112-117 dolar AS per barel dan WTI pada 106-111 dolar AS per barel sebelum rilis data tenaga kerja AS pada Jumat ini. Pekerjaan dan sektor jasa AS yang solid pada Kamis (5/9) lalu menguatkan pandangan the Fed akan memperlambat program stimulus pada bulan ini.
Namun, turunnya pesanan untuk barang pabrik mendapat sorotan karena masih menyisakan ketidakpastian pada prospek ekonomi.