Kamis 05 Sep 2013 16:57 WIB

Akindo Bantah Ada Kartel Kedelai Impor

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Seorang pekerja menimbang kedelai di gudang penyimpanan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Seorang pekerja menimbang kedelai di gudang penyimpanan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) membantah kabar bahwa harga kacang kedelai impor mahal akibat praktik kartel maupun spekulasi dari importir. Direktur Eksekutif Akindo Yus'an menjelaskan, kebutuhan kacang kedelai sebesar 2,5 juta ton per tahun. Namun 70 sampai 80 persen kebutuhan kedelai Indonesia terpaksa diimpor dari impor dari Amerika Serikat (AS). Jadi, dia menambahkan, Indonesia mengimpor sekitar 1,8 juta ton per tahun.

“Para importir melakukan impor karena untuk mengisi kekosongan suplai kedelai akibat kemampuan produksi kedelai lokal yang terbatas,” ujarnya kepada wartawan saat diskusi mengenai dampak harga kacang kedelai akibat pelemahan rupiah di Jakarta, Kamis (5/9).

Lebih lanjut dia mengatakan, harga kedelai impor sebenarnya mengalami kenaikan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menguatnya nilai tukar dolar AS yang mencapai juga membuat pelemahan terhadap mata uang negara-negara lain. “Sehingga pelemahan kurs rupiah ini bukan hanya berdampak pada harga kedelai impor. Tetapi juga menyebabkan kenaikan harga semua barang atau bahan-bahan impor seperti elektronik, otomotif, jagung, hingga gandum,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya yang beranggotakan 15 perusahaan importir kedelai itu merasa keberatan mengenai kabar yang beredar bahwa harga kedelai yang naik sekarang ini akibat praktik kartel maupun spekulasi yang dilakukan oleh importir. Dia mencontohkan, isu adanya praktik kartel sudah terjadi sejak tahun lalu. Tahun lalu Indonesia kekurangan suplai kedelai akibat kekeringan yang terjadi di AS dan Brasil. “Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah melakukan penelitian, ternyata isu kartel itu tidak  ada,” tuturnya.

Dia menegaskan, terdepresiasinya rupiah bukan sengaja dilakukan, melainkan memang diluar kuasa kemampuan importir kedelai. “Bahkan negara saja tidak bisa menghadapi pelemahan kurs rupiah ini,” ucapnya.

Para importir, ungkap Yus'an, juga mengalami pengurangan volume penjualan ketika harga kedelai meningkat akibat nilai tukar rupiah melemah. Untuk itu, pihaknya menginginkan adanya pemberitaan yang obyektif mengenai masalah ini.

 

Dia menjelaskan, para importir yang mengimpor kedelai ada yang berjumlah sedikit, dan ada yang banyak. Ada yang menggunakan kapal, ataupun menggunakan kontainer. “Jadi kedelai impor itu tidak mungkin disatukan karena skalanya berbeda. Belum lagi kualitas kedelai yang dibeli berbeda karena supliernya juga berbeda,” tuturnya.

Menurutnya, para importir juga tidak saling mengenal satu sama lain. Importir memang memang mengetahui perusahaan kompetitor, namun mereka tidak mengetahui fisik masing-masing importir.

Yus'an menuturkan, meski nilai tukar rupiah terdepresiasi, importir terus memikirkan solusi untuk meringankan beban perajin tahu tempe ini. Misalnya  memberikan harga khusus kedelai untuk anggota Koperasi Tahu Tempe (Kopti) Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement