REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan untuk Cina dan Amerika Serikat (AS) pada Selasa (3/9). OECD juga memperingatkan bahwa pemulihan yang sedang berlangsung masih belum kuat meskipun terjadi "rebound" di beberapa negara.
OECD mengatakan sebuah kekhawatiran yang telah mengganggu beberapa negara berkembang menyusul kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), untuk mengurangi kebijakan uang longgarnya. "AS perlu terus mendukung permintaan, termasuk melalui kebijakan moneter konvensional, dalam rangka meminimalkan risiko pemulihan gagal," kata OECD dalam pernyataan resminya.
OECD mendukung rencana the Fed untuk secara bertahap mulai mengurangi stimulus moneternya, menyuntikkan sebesar 85 miliar dolar AS per bulan bagi perekonomian AS. Tak hanya untuk AS, OECD juga mengimbau Jepang untuk menjaga upaya stimulusnya sampai deflasi berakhir.
Sementara zona euro dinilai OECD harus siap untuk melakukan pelonggaran moneter lebih lanjut jika pemulihan gagal untuk terus bertahan. OECD mengatakan Bank Sentral Eropa (ECB) mungkin perlu untuk melakukan langkah-langkah meningkatkan pinjaman yang lesu seperti memberikan insentif langsung kepada bank untuk memperpanjang kredit ke sektor riil.
Meskipun tekanan inflasi terkendali di Cina, OECD merekomendasikan hati-hati atas pelonggaran moneter jika pertumbuhan melambat karena peningkatan cepat dalam pinjaman.