Rabu 28 Aug 2013 11:38 WIB

Indonesia Tak Bisa Adopsi Aturan DPS Malaysia

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Keuangan Syariah (Illustrasi)
Keuangan Syariah (Illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan baru terkait Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Malaysia, tidak diadopsi oleh Indonesia. Pasalnya struktur keberadaan dan tugas DPS di kedua negara sangatlah berbeda.

Di Malaysia, DPS menyatu dengan pemerintah dalam hal ini Bank Negara Malaysia (BNM) dan dapat mengeluarkan fatwa. Sementara di Indonesia, DPS tidak menyatu dengan bank sentral tetapi punya payung lembaga sendiri yakni Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama (DSN-MUI). DSN-MUI inilah yang mengeluarkan fatwa terhadap suatu produk syariah.

"DPS kedua negara berbeda, jadi tidak bisa Indonesia mengikuti aturan DPS di Malaysia," ujar Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Syakir Sula kepada ROL saat ditemui di acara Halal bi Halal MES, Selasa (27/8) malam.

Beberapa waktu lalu, Malaysia mengeluarkan peraturan yang menyebut DPS dapat bertanggung jawab secara hukum atas produk-produk keuangan syariah dan pengenaan denda serta hukuman penjara bagi DPS yang berbuat kesalahan fatal. Salah satu perubahan penting pasca berlakunya peraturan baru ini adalah pertanggungjawaban yang besar dari para DPS terhadap setiap produk yang telah mereka setujui.

DPS Indonesia terdapat di setiap perusahaan berbasis syariah, sementara tidak demikian dengan DPS Malaysia. DPS Indonesia hanya bertugas mengimplementasikan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI, diantaranya memberikan opini dan pengawasan syariah terhadap operasional perusahaan. Syakir mengatakan seandainya ada penyimpangan di suatu perusahaan maka akan mengacu pada fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI.

Tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, perbedaan kewenangan DPS juga terdapat di Timur Tengah. Di Timur Tengah, DPS terdapat di setiap perusahaan berbasis syariah dan setiap DPS bisa mengeluarkan fatwanya sendiri.

Syakir mengakui saat ini DPS Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Para kyai yang menjadi DPS, kata Syakir, butuh waktu memahami laporan dan akuntasi. Sebaliknya, DPS yang berasal dari praktisi, masih perlu belajar memahami fatwa-fatwa. "Tapi secara keseluruhan sudah berjalan baik dan DPS sedang berproses menuju optimal," ucapnya.

Meski aturan tersebut tidak bisa diadopsi Indonesia, bukan berarti DPS lepas dari tanggung jawab. Pakar Ekonomi Syariah, Syafii Antonio mengatakan hukum pidana dapat terjadi terhadap pelanggaran peraturan yang sudah diatur dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) dan sudah menjadi aturan positif. Pelanggaran tersebut misalnya berupa penipuan ataupun penggelapan.

Jika kesalahan berupa keterlambatan pelaporan atau ada  sesuatu yang tidak diungkap oleh DPS maka dapat dikenakan denda sejumlah tertentu. Namun sanksi tersebut sudah masuk dalam ranah hukum positif. Sementara apabila terjadi kesalahan aplikasi, DPS nanti akan dimintai penjelasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. 

Senada dengan Syakir, Syafii menilai para DPS masih kurang memahami persoalan teknis. Namun kekurangan ini telah jeli ditangkap oleh DSN-MUI. "DSN-MUI sudah cukup baik melakukan pelatihan dan sertifikasi setiap tahun," kata dia. Sertifikasi diharap mampu meningkatkan kemampuan DPS, terutama di daerah-daerah yang jarang mengikuti pelatihan dan eksposur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement