REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengakui pihaknya masih membutuhkan modal asing terkait kegiatan eksploitasi dan eksplorasi migas.
"Risikonya sangat besar karena kegiatan eksploitasi belum tentu menghasilkan, jika memakai modal dari negara atau pemerintah akan merugi karena jika gagal siapa yang akan mengganti," kata Elan saat ditemui di kantor SKK Migas, Jakarta, Rabu.
Elan mengatakan kontrak kerja sama dengan kontraktor di bawah SKK migas, untuk minyak yakni 85 persen untuk kebutuhan domestik dan 15 persen untuk kontraktor.
Sementara untuk gas, dia melanjutkan, porsi untuk domestik sebanyak 70 persen, sementara untuk kontraktor 30 persen."Bagian itu jika hasil dari eksploitasinya berhasil, jika tidak, tidak ada kerja sama dan kita tidak mengganti rugi," katanya.
Dia menyebutkan dari 320 kontraktor yang melakukan eksploitas, hanya 75 perusahaan yang berhasil melalui tahap produksi. Lebih lanjut, dia menyebutkan, anggaran untuk ekplorasi mencapai 23 miliar dolar AS dan eksplorasi hingga 3,5 miliar dolar AS. "Mana bisa kita mengandalkan uang kita sendiri (pemerintah)," katanya.
Dalam sehari, dia mengaku perusahaan di bawah SKK Migas bisa memproduksi minyak sebanyak 830.000 barel per hari, sementara jumlah tersebut masih dinilai defisit karena kebutuhan domestik akan minyak bumi sebesar 1,3 juta barel per hari.
Elan menjelaskan kontraktor berhak menjual minyak ke luar negeri apabila karakteristik minyak mentah (CPO) tidak sesuai dengan domestik dan infrastruktur untuk mengolanya tidak memadai. "Daripada dimana-mana tidak sesuai dan tidak bisa diolah, sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar, lebih baik diekspor," katanya.
Terkait perusahaan minyak Kerner Oil yang disebut-sebut terlibat dalam kasus suap Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Elan mengaku tidak mengenalnya."Mereka 'trader' minyak, dan saya tidak kenal orang-orangnya," katanya.
Kepala SKK Migas telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima sejumlah dana dari perusahaan asal Singapura tersebut senilai 700.000 dolar AS atau sekitar Rp 7 miliar. "Uang segitu kalau untuk bisnis masih kecil, kecuali kalau untuk pribadi," ujarnya.