REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai turunnya nilai impor Indonesia pada Juni 2013 karena melambatnya investasi. Menurut Enny, dengan investasi yang menurun, maka impor bahan baku dan barang modal juga ikut turun. Efeknya, nilai impor bisa ditekan. Impor memang ditekan, dia melanjutkan, tetapi nilainya tidak signifikan karena masih dibawah 10 persen.
‘’Karena saya yakin kalau impor untuk konsumsi di dalam negeri tidak ada perubahan yang siginifikan. Tetapi ini jadi simalakama,’’ ujarnya saat dihubungi ROL, Kamis (1/8). Artinya, jika ingin impor turun maka investasi juga turun. Sebaliknya jika investasi naik, maka impor juga melonjak.
Dia menilai, ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas (FTA) juga ikut menenukan nilai impor Indonesia. Menurut Enny, sejak Indonesia mengadakan FTA dengan Jepang maupun Cina, maka Indonesia mengalami defisit perdagangan impor. ''Belum lagi nilai tukar rupiah yang terdepresiasi,'' tuturnya.
Agar nilai impor turun, ia menyarankan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri yang tidak memakai bahan baku dan barang modal impor, menumbuhkan substitusi impor. Jadi, lanjutnya, untuk mengendalikan impor maka harus kerja sama sinergis antara berbagai pihak seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia, Kementerian Pertanian (Kementan) Indonesia, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
‘’Kerja sama antara BKPM dan Kemenperin dibidang investasi dan impor bahan baku, dan impor barang modal. Kemudian kerja sama dengan Kementan dalam impor pangan,’’ tuturnya.
Dia optimistis, jika dua kerja sama itu dilakukan dan dikoordinasikan maka nilai impor dapat dikurangi secara signifikan. Namun terkait meningkatnya nilai impor migas Juni 2013, kata Enny, terjadi karena Indonesia ketergantungan terhadap minyak. Indonesia memiliki ketergantungan terhadap energi untuk suplai terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM). ‘’Jadi intinya harga BBM naik atau tidak maka impor tetap dilakukan karena tidak ada energi alternatif,’’ ujarnya.