Kamis 25 Jul 2013 09:35 WIB

Potensi Ekonomi Kelautan RI 11,2 Triliun Dolar AS

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Nelayan dengan hasil tangkapan di Muara Angke, Jakarta (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/WIHDAN
Nelayan dengan hasil tangkapan di Muara Angke, Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa potensi 11 sektor ekonomi kelautan Indonesia minimal 11,2 triliun dolar AS. Namun kontribusinya baru 22 persen karena kebijakan pemerintah bukan berdasarkan kelautan (ocean based).

Rokhmin menjelaskan, potensi ekonomi kelautan Indonesia besar sekali, bukan hanya perikanan, tambak, dan budidaya tetapi juga ada industri bioteknologi kelautan. Menurutnya, potensi dari 11 sektor ekonomi kelautan minimal sebanyak 1,2 triliun dolar AS. “Artinya ini kan lebih besar dibandingkan produk domestik bruto (PDB) kita,” ujarnya kepada wartawan di sela-sela diskusi 'Membangun Ekonomi Kelautan' di Jakarta, Rabu (24/7) malam.

Selain itu, kata Rokhmin, jika potensi ekonomi kelautan Indonesia kalau bisa dimanfaatkan secara maksimal maka bisa membiayai pengeluaran negara sekaligus menciptakan sedikitnya 40 juta tenaga kerja.  Dia menerangkan, wilayah darat yang dimiliki Indonesia hanya seperempat bagian, dan sisanya adalah lautan. Jadi secara geoekonomi maupun geopolitik, Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia seharusnya melakukan pembangunan berdasarkan kelautan dan pulau-pulau kecil (ocean based).

Namun faktanya, nilai kontribusi 11 sektor ekonomi kelautan itu baru sebanyak 22 persen terhadap PDB maupun kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan. Menurutnya, banyak pakar ekonomi yang menduga bahwa salah satu yang muncul inefisiensi atau lemahnya daya saing bangsa Indonesia itu karena Indonesia mengingkari fitrah atau jati diri sebagai bangsa kelautan. 

“Rendahnya kontribusi itu karena manajemen masukan, baik itu produksi, teknologi, sumber dana, entah itu  dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun perbankan yang masih sangat ringan,” paparnya.

Rokhmin menuding kebijakan pemerintah saat ini belum berpihak pada kelautan. “Sekarang seperti kita tahu pemerintah memberikan bantuan yang merusak mental bangsa seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Langsung Tunai (BLT),” tuturnya.

Tidak hanya itu, dia mengkritik kebijakan pemerintah mengganti kebijakan gerakan pembangunan perikanan dengan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun tahun 2005 lalu. Dia juga melihat rancangan undang-undang (UU) kelautan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia yang hingga saat ini masih terkatung-katung karena banyak terjadi konflik sektoral.Padahal UU kelautan itu dapat menjadi harmonisasi dengan UU Perikanan. “UU Perikanan kan fokusnya pada manusia dan sumber daya ikan itu. Tetapi kalau UU kelautan itu (mengatur) di wilayah, habitatnya,” ucapnya.

Lebih lanjut Rokhmin menyebutkan seharusnya ada jaminan pasar. Ketika dirinya berkunjung ke negara Vietnam, dia mengapresiasi kebijakan jaminan pertanian dan kelautan di negara itu. Sarana produksi didekatkan kepada rakyat, infrastruktur dibangun, bahkan jaminan pasarnya.  “Sehingga ada semacam UU yang mengatur bahwa nelayan atau petani harus untung minimal 30 persen,” tuturnya.

Dia berharap jika sektor ekonomi dan kelautan makmur, maka otomatis akan menggerakkan ekonomi lainnya atau ada efek pengganda (multiplier effect). “Karena petani, nelayan yan makmur kan membeli baju, komputer, sepatu. Jadi sektor industri lainnya merasakan manfaat,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement