REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bersikeras menginginkan nilai aset atas kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) per 1 November 2013 yakni sebelum revaluasi untuk memastikan finansial perusahaan agar bisa berjalan sebagaimana mestinya.
"Dari hasil rapat tadi, banyak kemajuan, tidak ada perbedaan lagi antara pihak Indonesia dengan pihak Jepang kecuali masalah revaluasi aset," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa usai rapat koordinasi Inalum di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (23/7).
Hatta mengatakan pihak Jepang juga masih pada pertimbangannya yang menginginkan nilai aset setelah revaluasi. Nilai aset sebelum revaluasi, artinya nilai buku tanpa revaluasi aset, sementara nilai aset setelah revaluasi, yakni nilai buku termasuk revaluasi aset. Revaluasi merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai mata uang di dalam negeri terhadap mata uang asing.
Dia juga menjelaskan pemerintah berpedoman pada perjanjian sesuai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tidak berdasarkan revaluasi, sementara pihak Jepang berpatokan pada perjanjian induk (master agreement) berdasarkan revaluasi aset. "Kita akan terus melakukan pembahasan, yang jelas akhir Oktober akan kembali menjadi milik Indonesia," katanya.
Inalum merupakan perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan. Sesuai dengan perjanjian induk, perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd pada saat perusahaan didirikan adalah 10 persen dengan 90 persen.
Pada bulan Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25 persen dengan 75 persen dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13 persen dengan 58,87 persen. Sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12 persen dengan 58,88 persen.
Inalum terdiri atas Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) atau smelter dengan kapasitas 225 ribu ton per tahun dan PLTA Asahan II dengan kapasitas 604 megaVolt (MV). Saat ini kapasitas produksi PT Inalum sebesar 250 ton aluminium ingot per tahun. Sebanyak 60 persen diekspor ke Jepang dan 40 persen dipasarkan di dalam negeri.