REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan berada di angka 5,9 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan proyeksi Bank Dunia sebelumnya yakni 6,2 persen. Demikian pernyataan Bank Dunia mengenai perkembangan triwulanan perekonomian ekonomi Indonesia yang dirilis Selasa (2/7).
Angka 5,9 persen, menurut Bank Dunia, mencerminkan adanya perlambatan pertumbuhan permintaan dalam negeri. Selain itu, adanya tekanan yang masih berlanjut terhadap harga-harga komoditas dan penerimanan ekspor.
Ekonom Utama Bank Dunia Ndiame Diop mengatakan walaupun kebijakan moneter dan fiskal telah responsif, tekanan-tekanan lain juga bermunculan. Sehingga, dibutuhkan kesiapan bagi penyesuaian kebijakan selanjutnya. "Tujuannya untuk mengamankan stabilitas ekonomi makro dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Diop.
Menurut Diop, kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang fleksibel dan dapat diprediksi dan dikomunikasikan dengan baik akan membantu Indonesia melalui masa yang penuh ketidakpastian ini. Di sisi lain, peningkatan harga BBM bersubsidi, menurut Bank Dunia, akan membantu memperkecil defisit APBNP 2013 dengan proyeksi penghematan Rp 42 triliun.
Selain mengatasi permintaan bagi impor energi di tengah penurunan produksi minyak dalam negeri, reformasi subsidi itu juga langkah penting untuk mendorong belanja program-program sosial. Harapannya, lebih banyak rakyat Indonesia keluar dari kemiskinan.
Tingkat kemiskinan berdasarkan proyeksi Bank Dunia pada Maret 2014 dapat turun menjadi 9,4 persen. Sebagai gambaran, pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari total penduduk. Jumlah ini berkurang dibandingkan penduduk miskin pada September 2012 yang menyentuh 28,59 juta orang.