REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah Thailand mengatakan Rabu (19/6) pihaknya akan memangkas harga yang dibayarkan kepada petani padi di bawah skema kontroversial, yang menyebabkan negara kehilangan posisi sebagai eksportir utama dunia dari komoditas tersebut tahun lalu. Negara ini telah membayar para petaninya sekitar 50 persen lebih tinggi dari nilai pasar untuk beras sejak 2011 dalam upaya meningkatkan pendapatan di masyarakat pedesaan.
Pemerintah mencoba untuk menjual beras di pasar dunia tetapi menghadapi persaingan ketat dari produsen pesaing seperti Vietnam dan India, dan kehilangan sekitar 137 miliar baht atau sekitar 4,5 miliar dolar AS dari skema ini hingga Januari 2013.
Menurut kantor Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, dalam upaya mengurangi biaya, harga yang harus dibayar akan dikurangi 20 persen, menjadi 12 ribu baht atau sekitar 388 dolar AS) per ton. "Kita harus menurunkan harga karena skema ini telah menghabiskan banyak uang," kata Varathep Rattanakorn, seorang menteri di Pemerintahan Perdana Menteri Yingluck.
Kebijakan subsidi beras tersebut terbukti populer di daerah pedesaan yang miskin. Para lawan politik partai penguasa mengatakan skema ini dirancang untuk mengambil hati para petani di timur laut Thailand yang dukungannya membantu memperlancar Yingluck berkuasa pada 2011.
Kakak Yingluck, Thaksin Shinawatra, yang digulingkan sebagai perdana menteri oleh jenderal royalis dalam kudeta pada 2006, sangat populer di pedesaan Thailand berkat kebijakan populis tersebut saat ia masih berkuasa. Tuduhan korupsi juga telah menyeruak seputar skema beras di tengah klaim beberapa petani belum menerima pembayaran penuh.
Pemerintah sebelumnya mengatakan mereka yakin dapat menemukan pembeli untuk beras di pasar dunia dengan harga yang akan meningkatkan standar hidup petaninya. Pemerintah Thailand mengatakan pihaknya telah menandatangani kesepakatan untuk menjual beras langsung ke negara-negara lain, namun eksportir telah melaporkan menumpuknya cadangan yang tidak terjual.
Sejak Thailand mengenakan kebijakan membeli beras dengan harga tinggi, posisi negara itu telah diambil alih oleh India dan Vietnam sebagai eksportir beras dunia. Namun juru bicara pemerintah membantah skema tersebut telah menghambat pertumbuhan atau menjadi suatu kegagalan. "Revisi harga ini disebabkan oleh fluktuasi ekonomi global dan melemahnya baht," kata Teerat Ratanasevi kepada pers.