REPUBLIKA.CO.ID, FUKUOKA -- Produsen makanan di Jepang berlomba-lomba mencari sertifikasi halal untuk produk mereka. Hal ini lantaran perkiraan populasi Muslim global akan tumbuh dari 1,6 miliar saat ini menjadi lebih dari 2 miliar pada 2030 mendatang.
Halal dalam bahasa Arab berarti diperbolehkan. Kata ini sering digunakan untuk menunjuk jenis makanan yang sesuai dengan hukum Islam. Makanan halal tidak menggunakan babi dan alkohol.
Sementara penggunaan hewan lain dalam makanan diperbolehkan jika menggunakan tata cara tertentu. Produk makanan juga harus menjaga lini produksi mereka agar senantiasa bersih dan jujur terhadap konsumen.
Manajer Umum Konsultasi Institut Internasional dan Pelatihan Halal di Kuala Lumpur, Haji Saifol Haji Bahli, mengatakan makanan resmi yang diperbolehkan pasti mencantumkan label halal. Untuk otorisasi tersebut, unsur religius diperhitungkan bersamaan dengan keamanan dan kesehatan pangan.
Perusahaan-perusahan Jepang yang ditunjuk sebagai pembuat makanan halal menggelar pameran produk mereka pada Februari lalu di Fukuoka. Ini adalah pameran makanan halal pertama di Jepang.
Direktur Prefektur Saga (perusahaan makanan laut di Karatsu), Tsukasa Yoshimura, mengatakan makanan halal menjadi cara yang mungkin dapat mengatasi penyusutan pasar domestik dan penggunaan produk kelautan yang tidak standar.
"Konsep halal tidak rasional karena mahal. Tetapi kami tetap berhasil mendapatkan sertifikasi sebagai kode sanitasi baru," ujarnya seperti dikutip dari The Japan Times, Rabu (15/5).
Seorang konsultan pemasaran di Fukuoka, Eiko Yamashita, mengatakan 79 persen peserta yang hadir di pameran makanan halal tertarik pada produk makanan Jepang. "Muslim telah percaya pada makanan Jepang asli," kata Yamashita.
Menurut dia, kondisi tersebut menawarkan peluang bisnis bagi perusahaan makanan Jepang, termasuk makanan ringan maupun bumbunya.
Profesor Keuangan Syariah di Universitas Kyoto, Shinsuke Nagaoka berujar hambatan masuknya pasar Islam ke perusahaan Jepang sangatlah kecil. "Ekonomi Islam dekat dengan cara Jepang dalam melakukan bisnis," ujarnya.
Sebab, keduanya menempatkan beban pada transaksi adil dan produksi barang pun berkontribusi pada masyarakat lokal.