Senin 13 May 2013 13:20 WIB

Ekspor Tekan Penerimaan Bea Keluar

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi penerimaan bea keluar (BK) selama caturwulan pertama 2013 mengalami tekanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, tercatat penerimaan BK baru mencapai Rp 4,85 triliun atau 15,3 persen dari target yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 sebesar Rp 31,7 triliun. 

Sedangkan jika ditilik dari target yang ditetapkan sampai 30 April 2013, realisasi penerimaan BK baru menyentuh 45,91 persen dari target senilai Rp 10,57 triliun. Jika dibandingkan dengan pencapaian sampai dengan 30 April 2012 setara Rp 7,6 triliun, terjadi penurunan sebesar 37 persen. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menilai tertekannya penerimaan BK tak terlepas dari penurunan kinerja ekspor dalam negeri.  Tatkala kinerja ekspor mengalami penurunan secara signifikan, maka secara otomatis penerimaan BK juga mengalami penurunan.

Menurut Enny, penurunan ekspor juga tak lepas dari tertekannya harga komoditas yang menjadi andalan penerimaan BK seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) beserta turunnya, bijih mineral, kakao, karet dan kulit. "Ini yang mengakibatkan penerimaan bea keluar turun," kata Enny kepada ROL, Senin (13/5).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor pada triwulan pertama 2013 mengalami penurunan 6,44 persen dibandingkan triwulan pertama 2012 yang mencatatkan ekspor 48,517 miliar dolar AS (Rp 471,6 triliun). Khusus untuk ekspor nonmigas Januari-Maret 2013 37,273 miliar dolar AS (Rp 362,3 triliun).  Ini lebih rendah 3,27 persen dibandingkan Januari-Maret 2012 38,532 miliar dolar AS (Rp 374,53 triliun). 

Khusus golongan barang nonmigas, terjadi peningkatan pada bahan bakar mineral dan lemak dan minyak hewan/nabati. Nilai ekspor bahan bakar mineral 6,489 miliar dolar AS (Rp 63 triliun) dan nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati 4,857 miliar dolar AS (Rp 47,21 triliun). 

Enny menambahkan larangan ekspor komoditas barang mentah juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan penerimaan BK. Meskipun demikian, Enny meminta pemerintah jangan sampai menjadi tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan terkait penurunan tersebut. "Memang ada syok penerimaan dari BK. Tapi, itu jangan jadi alasan untuk pembenaran kita bolehkan komoditas mentah diekspor," ujarnya. 

Lebih jauh Enny menilai, pembatasan ekspor komoditas bahan mentah tidak selamanya buruk. Ini terbukti dari masuknya sejumlah investor asing yang berminat untuk mengolah komoditas mentah di Tanah Air. Hal ini, tambahnya, harus menjadi pertimbangan pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement