Ahad 12 May 2013 14:27 WIB

Apegti Akan Laporkan Masalah Gula di Perbatasan ke KPK

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Gula Rafinasi (ilustrasi)
Foto: Corbis
Gula Rafinasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) M Natsir Mansyur menilai kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah gula di perbatasan Indonesia dengan mengimpor gula mentah (raw sugar) tidak tepat. Untuk itu, Apegti akan melaporkan masalah tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Natsir, tiga perusahaan yang diberikan izin impor yaitu PT PG Rajawali III (Pabrik Gula Gorontalo), PT Industri Gula Nusantara (IGN), dan PT Eka Tunggal Mandiri merupakan perusahaan yang pabrik-pabriknya berbasis tebu, bukan industri gula rafinasi yang berbahan baku raw sugar. Menurutnya, raw sugar lebih cocok untuk keperluan industri, bukan gula kristal putih (GKP) yang biasa dikonsumsi.

Dia juga menilai, ketiga perusahaan tersebut tidak berpengalaman dalam hal distribusi, biaya transportasi, dan sarana pergudangan. Dia menambahkan, kejadian ini bukan yang pertama kali. Kasus serupa terjadi pada tahun lalu. “Saat itu ada sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perdagangan yang diberi izin impor gula dan ternyata bermasalah,” ujar Natsir saat dihubungi ROL di Jakarta, Ahad (12/5).

Natsir juga mempertanyakan kenapa Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin impor gula sebanyak 240 ribu ton. Padahal, lanjutnya, menurut perhitungan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag bahwa impor untuk enam provinsi yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi, dan Maluku hanya membutuhkan 95 ribu ton gula. “Artinya ada selisih sebesar 145 ribu ton dan itu untuk siapa?," imbuhnya.

Karena merasa ada kemungkinan penyimpangan, lanjutnya, Apegti saat ini tengah menyiapkan data-data mengenai masalah ini untuk dilaporkan kepada KPK. Mengenai disparitas harga juga menjadi sorotan Apegti.

Saat ini, lanjutnya, harga gula yang dikirim dari Pulau Jawa sebesar Rp 15 ribu per kilogram. “Sedangkan harga selundupan dari negara tetangga hanya Rp 10 ribu per kilogram. Padahal secara kualitas sama,” tuturnya.

Dia khawatir, apabila pemerintah tidak bisa menekan disparitas harga, maka penyelundupan terus terjadi.  “Akibatnya, pendapatan negara dari bea masuk gula menjadi hilang karena rakyat lebih banyak membeli gula selundupan,” kata Natsir. Jadi, tambahnya, kebijakan pemerintah untuk kebutuhan gula murah kali ini kurang tepat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement