REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Kebijakan pemerintah melakukan barter pupuk dan beras dengan Myanmar, dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil. Ketua Komisi IV DPR Romahurmuziy menyebutkan, kebijakan tersebut sebagai kebijakan yang tidak pro petani.
"Kita ini pada tahun 2012 sudah surplus beras. Jadi tidak perlu lagi ada kebijakan mendatangkan beras dari luar," katanya, seusai kuliah umum 'Kedaulatan Pangan' di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Senin (29/4).
Sebelumnya, pemerintah berencana untuk melakukan program kerja sama berupa barter beras pupuk dengan pemerintah Myanmar. Dalam program barter tersebut, pemerintah RI akan mengirim pupuk sebanyak 200 ribu ton.
Sedangkan RI akan mendapat pasokan beras dari Myanmar sebanyak 500.000 ton.Anggota parlemen yang akrab dipanggil Gus Romi ini menyebutkan, pada tahun 2012 lalu, Indonesia sudah mengalami surplus beras 4,5 juta ton.
Sementara pada tahun ini, Menteri Pertanian manargetkan RI akan kembali mengalami surplus hingga 7,5 ton. Dengan kondisi surplus sebanyak ini, Gus Romi mempertanyakan, untuk apa lagi pemerintah mendatangkan beras dari Myanmar.
Ia mengingatkan, dengan kebijakan impor beras dari Vietman sebanyak 1 juta ton yang dilakukan pada 2012 lalu, saat ini stok cadangan beras di gudang-gudang Bulog masih sangat banyak. Bahkan dari cadangan beras yang ada saat ini, diperkirakan masih akan mencukupi kebutuhan penyaluran raskin hingga Juni 2013.
Padahal akibat penyimpanan beras dan gabah yang terlalu, secara langsung juga akan menurunkan kualitas.
"Saat ini, sudah sering kita mendapat informasi tentang kualitas raskin yang buruk, karena penyimpanan yang terlalu lama. Karena itu, kalau dari produksi kita sendiri beras sudah terpenuhi, untuk apa mendatangkan lagi dari luar," katanya.
Ia juga menambahkan, dengan melimpahnya stok beras di pasaran, maka harga juga akan ikut anjlok. Memang pemerintah saat ini sudah menetapkan HPP (Harga Patokan Pemerintah) terhadap harga gabah dan beras. Namun anjloknya harga hingga dibawah HPP, tak akan bisa dicegah bila cadangan beras di dalam negeri terlalu banyak.
Alasan lainnya, adalah karena pemerintah Myanmas selama ini dikenal sebagai negara yang tidak serius memberikan perlindungan terhadap kaum muslim minortas Rohingya.
"Jadi untuk apa menjalin kerjasama yang tidak serius mengatasi masalah HAM, bahkan cenderung membiarkan pembantian terhadap etnik Rohingya terus terjadi," jelasnya.
Selain itu, komoditi pupuk yang akan dibarterkan dengan dengan beras, juga merupakan komoditi yang saat ini masih sangat dibutuhkan pertani di Indonesia. Ia menyebutkan, distribusi pupuk yang mulai 1 April ini akan dilakukan berdasarkan region, telah menimbulkan kelangkaan pupuk di beberapa daerah.
"Saya sudah mendapat SMS dari teman-teman HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), yang mengeluhkan mulai terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah," katanya.
Gus Romi mengatakan bahwa hal ini harus dipikirkan agar jangan sampai karena keputusan pemerintah (melakukan ekspor pupuk, red.) justru terjadi kelangkaan pupuk. Untuk itu, jangan sampai pupuk di dalam negeri mengalami kelangkaan, karena sebagian pupuk produksi Indonesia justru dikirim ke lua negeri.
Terkait kebijakan barter dengan Myanmar tersebut, Gus Romi menyebutkan, Komisi IV secara tegas akan meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut. "Penolakan dari Komisi IV ini akan kami sampaikan secara resmi pada pemerintah, setelah selesai masa reses sekarang ini," jelasnya.
Mengenai masalah ketersediaan pupuk urea, Gus Romi menyebutkan, produksi pupuk di dalam negeri sebenarnya mencukupi kebutuhan.
Namun adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara pupuk bersubsidi dan non subsidi, menyebabkan banyak pengusaha perkebunan besar yang disinyalir ikut menggunakan pupuk subsidi.
Saat ini, harga pupuk non subsidi mencapai Rp 5.500, sedangkan yang subsidi hanya dijual seharga Rp 1.800. "Dengan disparitas harga yang cukup tinggi, bukan hal aneh kalau kita menemukan kasus penggunakan pupuk subsidi oleh perkebunan-perkebunan besar," jelasnya.