REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pekerjaan Umum (PU) masih menghadapi sederet persoalan terkait pembangunan jalan tol Tanjung Priok. Proyek senilai lebih dari Rp 1 triliun ini masih terganjal masalah ganti rugi lahan dan konflik kepentingan berbagai pihak.
Pembangunan jalan tol Tanjung Priok dibagi menjadi lima seksi, yaitu Seksi E1 Rorotan-Cilincing, Seksi E2 Cilincing-Jampea, Seksi E2A Jampea-Simpang Jampea, Seksi NS Link Simpang Jampea-Yos Sudarso dan Seksi NS Direct Ramp.
Kepala Besar Pelaksanaan Jalan Nasional IV Bambang Hartadi mengatakan terdapat urgensi untuk pembangunan di Seksi NS Link Simpang Jampea-Yos Sudarso. Kontrak pembangunan wilayah ini akan habis di bulan Agustus 2013. Kementerian PU sebelumnya sudah meminta bantuan Gubernur Jokowi agar memediasi antara warga dengan Kementerian PU. Jokowi menurutnya berjanji bahwa solusi akan diberikan selambatnya pada akhir April ini.
Pekerja tidak bisa memasang pilar karena rakyat tidak mau menerima ganti rugi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12 juta per meter. Rakyat menuntut ganti rugi sebesar Rp 35 juta per meter.
Saat ini baru sekitar 20 petak dari total 80 petak tanah warga yang bisa digarap Kementerian PU. Jika sisa tanah tidak bisa dibebaskan, maka proyek ini terancam mandek. "Hanya ada dua kemungkinan, perpanjang kontrak atau sekalian diputus kontraknya. Tapi kalau putus kontrak, konsekuensinya ada pekerjaan yang tidak selesai," ujar Bambang kepada ROL, Kamis (25/4).
Kementerian PU juga masih menghadapi masalah dalam menggarap Seksi E2 Cilincing-Jampea dan Seksi E2A Jampea-Simpang Jampea. Pelindo sebagai pemilik lahan secara legal belum menemukan kata sepakat dengan pemukim lama. Alhasil, Kementerian PU belum bisa membayarkan ganti rugi untuk pembebasan lahan.
Saat ini Kementerian PU baru menyelesaikan pembangunan di Seksi E1 Rorotan-Cilincing sepanjang 3,4 kilometer. Proses konstruksi sudah selesai dan telah berfungsi sementara tanpa dikenakan tarif. Bambang masih optimistis pembangunan Jalan Tol Tanjung Priok bisa selesai tepat waktu.