REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi buah dan sayuran domestik semestinya mencukupi kebutuhan nasional. Namun produksi yang besar belum didukung kualitas yang baik.
"Indonesia produsen buah tropika terbesar, tetapi dari segi kualitas daya saingnya rendah," ujar Direktur Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, Sobir, dalam dialog publik bertajuk 'Kemandirian atau Kelangkaan Mencari Solusi Tataniaga Buah dan Hortikultura', Selasa (23/4).
Diperlukan aksi segera untuk membenahi daya saing produksi domestik. Apalagi Indonesia akan mengikuti arus CAFTA, dimana sistem kuota ditiadakan. Peningkatan kualitas buah lokal nantinya diharapkan mampu bersaing sehingga menahan gempuran produk impor.
Agar bisa memenangi pasar, produk hortikultura domestik harus juga bersaing dari segi harga dan distribusi. Selain itu petani perlu dibekali penanganan pasca panen yang nantinya akan mendongkrak harga jual di tingkat pedagang. "Selama ini hanya pedagang yang menguasai teknik ini, makanya harga jual di tingkat mereka tinggi," ujar Sobir.
Distribusi yang pendek dikatakan agar mendongkrak harga di tingkat petani. Selama ini harga di tingkat konsumen dinaikkan 20 hingga 30 persen dari harga jual petani. Jika pola distribusi diperpendek, petani bisa menyalurkan produk pertanian langsung ke ritel besar dibandingkan melalui berlapis-lapis pengumpul sebelum sampai ke konsumen.
Kini pemerintah tengah menerapkan pembatasan impor produk hortikultura. Namun kebijakan ini belum didukung dengan kesiapan domestik untuk mensubsitusi pasar dengan produk yang setara kualitas impor. Pada titik tertentu, masalah komoditas pangan bahkan menyumbang inflasi sebesar 0,64 persen di bulan Maret lalu.
Direktur Impor Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didi Sumedi berharap pengaturan impor bisa mendongrak daya saing produk lokal. Kebijakan dikatakan didesain salah satunya untuk menghasilkan harga buah lokal yang bersaing dengan impor.
Ia mengakui pada evaluasi kebijakan ditemukan bahwa keuntungan terbesar memang berada di tingkat pedagang. Padahal seharusnya konsumen yang paling diuntungkan. Selain itu pelaku usaha juga diimbau untuk tidak menggunakan kelemahan pada kebijakan. "Masih ditemukan indikasi kecurangan dalam proses pemeriksaan di bea cukai dan karantina," ujar Didi.
Harga buah di tingkat ritel saat ini masih tinggi, baik lokal maupun impor. Wakil Seketaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid mengatakan kebutuhan buah untuk industri tidak mengenal musim. Sayangnya, pasokan buah lokal belum menjadi primadona pengganti buah impor akibat produksi yang musiman.
Di tingkat ritel, penyebab kenaikan antara lain akibat pasokan terbatas, musim produksi dan pengaruh cuaca ekstrem. Salah satu buah yang harganya melesat salah satunya apel. Sebelumnya harga apel impor dihargai Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram (kg). Kini harganya melambung hingga Rp 127.500 per kg. "Kami tidak anti produk lokal. Yang terpenting buah lokal bisa mensupport konsumen secara kontinyu," ujar Satria Hamid.