REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha menyoroti pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang mandek. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menargetkan pembangunan industri berbasis HTI sebesar 14,5 juta hektare (ha) sampai dengan 2020. Namun sampai Desember 2012, baru sekitar 5, 78 juta ha.
"Belum ada lima puluh persen lahan HTI yang digarap," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, Jumat (19/4).
Industri kehutanan juga terhambat kendalan pembangunan infrastruktur yang lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan harga jual kayu yang cukup signifikan di beberapa tempat. Harga jual kayu di luar Jawa hanya dihargai Rp 300 ribu per meter kubik. Sedangkan di pulau Jawa harga jual kayu mencapai Rp 900 hingga Rp 1 juta per meter kubik.
Indonesia dikatakan menjadi kompetitor yang kuat dalam perkembangan industri kayu. Namun pengelolaan HTI yang tersendat membuat target agak sulit terpenuhi. Produksi kayu saat ini baru mencapai 300 juta ton per tahun. "Kalau areal HTI Indonesia 14,5 juta ha sampai 2020 terpenuhi, itu dapat menempatkan dunia lima besar dunia," ujar Purwadi.
Kendala lain yang masih menghadang ialah hama perusak pohon dan konflik lahan. Presiden Direktur Riau Andalan Pulp and Paper, Kusnan Rahmin mengatakan hal ini antara lain terjadi karena terbukanya akses lahan. Terdapat sebanyak 23,8 juta kawasan hutan produksi yang masih terlantar.
Beberapa industri besar juga mulai mengembangkan produk ban yang bahan bakunya dari karet. Karet mempunyai karakterisk yang berbeda dengan industri kehutanan lainnya. Perkembangan ini diharapkan menstimulasi sektor HTI. Purwadi berharap industri non kayu seperti ini bisa menstimulasi sektor HTI.
Pengusaha bubur kertas (pulp), Rusli Tan mengatakan pasar Indonesia dibajiri produk pulp dari Cina dan India. Dalam satu bulan, minimal 5000 ton pulp diimpor ke Indonesia. "Diperkirakan saat ini impor pulp telah meningkat menjadi 15 ribu ton per bulan," ujar Rusli kepada ROL.
Pengusaha domestik dikatakan lebih memilih menggunakan pulp impor karena murahnya harga. Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk produk kayu Indonesia membuat pengusaha harus merogoh kocek lebih dalam. Kelengkapan dokumen SVLK memang tidak diwajibkan untuk kayu yang akan masuk ke Indonesia.