REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) RI Bayu Krisnamurthi mengatakan Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata enam persen di tengah krisis perekonomian global.
"Itu merupakan prestasi terbaik di antara negara berkembang dan bahkan negara maju," katanya dalam diskusi yang dipimpin Duta Besar Islandia untuk WTO, Martin Eyjolfsson, sebagaimana dikutip Counsellor (Ekonomi) PTRI Jenewa, Dinar Sinurat, kepada ANTARA London, Ahad (14/4).
Dalam diskusi mengenai pandangan anggota WTO atas review kebijakan perdagangan Indonesia selama periode 2007-2012 pada pertemuan Trade Policy Review (TPR) di Swiss itu, delegasi Indonesia dipimpin Wamendag.
Ia memaparkan kebijakan perdagangan Indonesia yang pada intinya sangat bervariasi untuk memenuhi kebutuhan dinamika pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan perekonomian global.
"Tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, namun dalam periode review, Indonesia juga berhasil menekan tingkat pertumbuhan inflasi rata-rata 5,9 persen. Peringkat investasi Indonesia juga terus membaik dengan rata rata pertumbuhan di atas 26 persen," katanya.
Ibarat sebuah moving picture, katanya, kebijakan Indonesia sebagai suatu living policies disesuaikan dengan dinamika tuntutan pembangunan nasional dan kondisi ekonomi global.
Dalam situasi ini adalah hal yang wajar apabila kemudian banyak menuai kritik dari mitra dagang Indonesia atas kebijakan yang diambil, seperti kritik tajam yang banyak disuarakan anggota WTO khususnya terhadap kebijakan izin impor.
Kebijakan izin impor itu terkait dengan produk hortikultura, hewan dan produk hewan, pembatasan ekspor atas produk mineral dan tambang, serta penutupan beberapa pelabuhan impor. Kebijakan-kebijakan tersebut dituduh menghambat akses pasar produk di 20 persen pos tarif.
Indonesia dianggap sebagai salah satu anggota yang cukup banyak menggunakan perangkat pengamanan perdagangan (trade remedies) seperti penyelidikan anti-dumping dan safeguards measures.
Kesenjangan komitmen tarif Indonesia di WTO dengan tarif yang diterapkan dianggap memberikan ruang bagi ketidakpastian bagi pengusaha.
Selain itu, lemahnya koordinasi antarkementerian ikut menjadi sorotan utama yang dipandang mengakibatkan kurangnya transparansi dan rumitnya prosedur memperoleh izin ekspor-impor.
Seiring dengan kritik itu, anggota WTO juga mengagumi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Mereka juga mengakui tantangan sulit yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam mengelola negara besar yang berpenduduk lebih dari 240 juta yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau dengan berbagai ragam etnis dan budaya.
Peran aktif Indonesia dalam berbagai fora-regional dan internasional diakui sangat menonjol, termasuk dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan. Hal ini ditunjukkan dengan peran Indonesia sebagai tuan rumah KTT APEC dan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO pada tahun 2013.
Indonesia juga mempergunakan kesempatan TPR untuk mengumumkan bahwa Indonesia sedang mempertimbangkan pemberian fasilitas Duty Free Quota Free (DFQF) pada Least Developed Countries (LDCs).
Pertemuan TPR Indonesia ditutup dengan harapan anggota agar Indonesia dapat melakukan penyesuaian atas berbagai kebijakan yang dianggap kurang sejalan dengan ketentuan WTO.