REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Pengamat masalah pertambangan, Darmawan Prasodjo, berpendapat yang akan dipilih pemerintah menjadi pengelola Blok Mahakam adalah pihak yang mampu mempertahankan jumlah 'lifting', yaitu jumlah minyak dan gas yang dipompa keluar dari perut bumi.
"Ini bisa dilihat dari kebijakan energi pemerintah saat ini. Pemerintah kita, dengan kecenderungan mengutamakan jumlah lifting, yaitu jumlah minyak dan gas yang dipompa keluar dari perut bumi, akan memilih mereka yang memiliki modal, teknologi, dan manajemen risiko yang baik," kata Darmawan Prasodjo PhD, doktor ahli ekonomi sumber daya alam dari Texas A&M University, Texas, Amerika Serikat, di Balikpapan, Rabu (10/4).
Saat ini Blok Mahakam yang berada di blok kaya migas di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, masih dikelola Total E&P Indonesie, perusahaan multinasional yang berbasis di Prancis.
Kontrak Total yang dimulai pada tahun 1967 akan berakhir pada 2017 mendatang dan ketika itu Blok Mahakam dipercaya masih memiliki cadangan migas sekitar 2 triliun kaki kubik gas senilai Rp200 triliun.
Banyak pihak mendorong Pertamina untuk turut mengelola blok tersebut. Bahkan dengan adanya ketentuan baru di mana daerah penghasil bisa mendapatkan hak participating interest atau ikut serta sebagai pengelola, Pemprov Kaltim juga ingin terlibat melalui perusahaan daerah.
"Namun itu tadi pertimbangannya. Pemerintah saat ini akan memilih siapa yang bisa memberi 'lifting' yang terbaik," kata Prasodjo lagi.
Sekarang Total mengeluarkan 2.200 juta metrik standar kaki kubik per hari (million metric cubic feet per day atau MMSCFD) atau setara 379 ribu barel minyak per hari. Pemerintah perlu menjaga jumlah lifting tersebut untuk mendapatkan dana bagi APBN, yang pada gilirannya memang digunakan untuk pembangunan juga.
Namun demikian, menurut Prasodjo, dengan jumlah 'lifting' menjadi tujuan, maka pembangunan industri migas Indonesia sendiri menjadi tidak diperhatikan dengan serius. Buktinya, tegas Prasodjo, adalah pemerintah tidak memiliki dana untuk melakukan eksplorasi atau mencari minyak dan gas sendiri.
"Memang, membangun industri migas sendiri ada harganya dan sangat berpotensi menggoyang APBN," katanya.
Tetapi, lanjut Prasodjo, inilah saatnya bagi pemerintah untuk mendapatkan atau meningkatkan penerimaan dari sumber-sumber pendapatan lain selain migas.
"Pajak, misalnya, dengan pendapatan per kapita 8.500 dolar AS per tahun, yaitu negara berpendapatan sedang, rasio pembayaran pajak Indonesia baru 11,8 persen. Padahal negara-negara miskin di Afrika saja bisa mencapai 16 persen," kata Prasodjo.
Artinya, ujarnya, potensi pajak Indonesia masih sangat besar, walaupun saat ini pajak sudah menyumbang 75 persen dari APBN, atau Rp900 triliun lebih dari APBN senilai Rp1.300 triliun.