Selasa 09 Apr 2013 20:55 WIB

Econit: Pertumbuhan Ekonomi Harus Sehat

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Djibril Muhammad
Direktur eksekutif Economics, Industry and Trade (Econit), Hendri Saparini
Direktur eksekutif Economics, Industry and Trade (Econit), Hendri Saparini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi (PE) yang terjaga merupakan salah satu prioritas utama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ekonom Econit Advisory Group, Hendri Saparini meyakini PE Indonesia pada 2013 masih berada di atas enam persen. Akan tetapi, PE yang tinggi diharapkan tidak menimbulkan masalah di sisi lain.

"Kita ingin PE yang sehat," tutur Hendri dalam acara musyawarah nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia IX di Jakarta, Selasa (9/4).

Hendri mengakui, PE Indonesia pada 2012 silam yang mencapai 6,23 persen merupakan yang tertinggi kedua di dunia setelah Cina. Meskipun demikian, target PE 6,8 persen yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai perlu dikoreksi. Beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengoreksinya ke rentang 6,5 persen hingga 6,8 persen. 

Hendri menjelaskan PE Indonesia didorong dua elemen utama yaitu konsumsi rumah tangga (swasta) dan investasi. Tingginya konsumsi rumah tangga tak lepas dari jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia yang telah mencapai 131 juta orang.

Sedangkan realisasi investasi pun tumbuh tinggi. "Tapi, keduanya membawa masalah pada current account  (neraca transaksi berjalan)," kata Hendri.

Industri yang masuk melalui investasi asing, lebih didominasi industri dengan tingkat impor terhadap barang modal dan barang modal yang tinggi. Akibatnya, ujar Hendri, neraca perdagangan mengalami tekanan akibat realisasi impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. 

Per Februari 2013 silam, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 327,4 juta dolar AS atau sekira Rp 3,18 triliun. Untuk mengatasi permasalahan pada neraca transaksi berjalan, Hendri menyebut impor harus dikendalikan.

Kedua, dari sisi ekspor perlu perubahan pada struktur yang selama ini didominasi energi dan bahan mentah. Hendri mengatakan perlu ada strategi menajamkan ekspor Indonesia dari sisi tujuan, segmentasi dan lain-lain.

Hendri melanjutkan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga membawa potensi konflik. Hal tersebut terbukti dari angka rasio gini (tingkat kesenjangan) yang menyentuh 0,42. Semakin melebarnya kesenjangan berpotensi menghadirkan konflik di tengah masyarakat. Hendri mengatakan masalah ini perlu ada solusi. 

"Sebab pengeluaran 20 persen dari total orang kaya meningkat, sedangkan pengeluaran 40 persen dari total orang miskin menurun," katanya menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement