Senin 25 Mar 2013 21:46 WIB

KPPU: Sistem Kuota Munculkan Kartel Hingga Level Pasar Induk

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
 Pekerja menyusun bawang putih impor saat bongkar muat di Pasar Induk Kramat Jati,Jakarta,Senin (10/12).    (Republika/Prayogi)
Pekerja menyusun bawang putih impor saat bongkar muat di Pasar Induk Kramat Jati,Jakarta,Senin (10/12). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU)  menilai bahwa kartel pangan didasari oleh pilihan kebijakan impor. KPPU mencium indikasi keberadaan kartel pangan pada komoditas daging dan bawang putih.

Indikasi pertama adalah kuota. Puluhan juta bisa disetorkan pada seseorang untuk memperoleh kuota. "Ini yang disebutkan kartel level satu," ujar Komisioner  KPPU Munrokhim Misanam pada diskusi Politik Pangan : Menguak Dugaan Kartel Pangan Impor di Akbar Tanjung Institute, Senin (25/3).

Biasanya pelaku kartel akan merekrut orang terdekat untuk mengelola kuota. Orang pilihan ini ialah mereka yang mampu mempermainkan harga di pasar dengan rapi.  "Mitra kartel inilah yang memainkan peran kartel di pasaran," imbuhnya.

KPPU juga menyoroti ketentuan dalam Permentan 60/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang mewajibkan kepemilikan gudang berpendingin bagi importir konsumsi. Importir konsumsi diharuskan  mempunyai gudang dan kendaraan transportasi berpendingin, namun bagi  importir produksi, mereka dibolehkan menyewa gudang berpendingin.

Alasan penerapan aturan kepemilikan gudang adalah agar barang yang sedang disitribusikan ke kosumen aman, padahal, menurut KPPU kerusakan barang bukan menjadi urusan konsumen.

Peraturan ini disebut Munrokhim tidak relevan karena kondisinya hanya importir besar yang bisa memenuhi syarat. "Tapi berhubung dalam RIPH dicantumkan, hanya importir besar yang bisa bermain," ujar Munrokhim.

Praktik kartel kemudian berkembang ke level kedua, di mana satu orang memiliki beberapa perusahaan. Kasus seperti ini sedang dilacak oleh KPPU. Meski ia mengakui , secara legal praktek kartel level dua ini susah dibuktikan.

Berbelitnya program administrasi juga mendorong terciptanya kartel. Apalagi dibutuhkan waktu pengurusan administrasi yang panjang.

Terlambatnya mekanisme adminsitrasi membuat  importir berani memesan barang dulu tanpa menunggu semua surat selesai. "Birokrasi seharusnya dijadikan satu atap.  Impor terlambat sebentar saja tapi harga sudah naik," ujarnya.

Lebih jauh, praktek kartel pun terjadi di level pasar induk. Meski tidak banyak jumlahnya, tapi kartel di tingkat ini masing-masih mepunyai sekitar 30-40 ton bawang putih.  Mereka inilah, kata Munrokhim, yang mampu membuat pasokan guncang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement