REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami tekanan pada 2013 dan berada pada kisaran 6,2 persen. Namun, hal tersebut dapat diatasi melalui berbagai kebijakan yang tepat.
"Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan 6,2 persen untuk 2013, tetapi meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi akan sangat menantang," ujar Ekonom Utama Bank Dunia Jim Brumby dalam jumpa pers perkembangan triwulan perekonomian Indonesia di Jakarta, Senin (18/3).
Jim mengatakan lima sumber tekanan terhadap prospek ekonomi Indonesia antara lain perlambatan pertumbuhan investasi, potensi implikasi perlambatan penjualan riil dan pertumbuhan PDB nominal, tren pada neraca eksternal, beban subsidi BBM dan melambatnya laju penurunan kemiskinan. "Tekanan ini dapat melahirkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi dan yang dibutuhkan hanyalah kebijakan serta respon tepat untuk mengatasinya," katanya.
Menurut Jim, risiko terbesar terhadap pertumbuhan jangka pendek berasal dari investasi dalam negeri, yang berkontribusi dua per lima pertumbuhan pada 2012, karena belanja investasi melambat pada sumber daya padat modal dan impor barang modal melemah. "Meningkatkan kepastian dalam regulasi dan kebijakan dapat membantu iklim investasi," katanya.
Selain itu, masalah subsidi BBM, yang besarnya mencapai 2,6 persen dari PDB 2012, ikut menambah tekanan pada neraca perdagangan luar negari dan membebani sektor fiskal.
Belanja pemerintah yang tidak efisien dinilai Jim masih menjadi masalah besar, terutama bagi subsidi energi. Untuk itu ia menyarankan perlu dilakukan reformasi terutama bagi subsidi BBM.
Tekanan tersebut juga dapat menyebabkan target penurunan kemiskinan Indonesia meleset satu hingga dua persen atau setara dengan dua juta hingga lima juta orang. Padahal Indonesia saat ini sedang menghadapi laju urbanisasi yang cukup tinggi, terutama di kota berukuran menengah yang perkembangannya masih tertinggal dari kota-kota besar.
"Peningkatan jumlah, kualitas dan efisiensi investasi infrastruktur dapat membantu membuka manfaat ekonomi dari aglomerasi perkotaan dan mendukung kualitas layanan masyarakat," katanya.
Jim mengharapkan adanya tanggapan kebijakan yang sesuai untuk mendorong pertumbuhan serta mencakup peningkatan investasi infrastruktur publik dan penekanan pada daya saing perdagangan yang belum memadai. Menurutnya, investasi diperlukan bagi infrastruktur, karena menyebabkan biaya logistik tinggi.
Terlebih lagi, kata dia, saat ini belanja infrastruktur berada pada kisaran tiga hingga empat persen dari PDB. "Bandingkan hingga tujuh persen ketika sebelum krisis 1997," ujarnya.
Jim mengharapkan kebijakan yang memadai tersebut dapat meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi apalagi Indonesia masih memiliki ketahanan ekonomi yang relatif kuat dari krisis global.
"Dengan kebijakan tersebut, Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi, memanfaatkan kekuatan urbanisasi dan peningkatan pendapatan, serta memperbanyak lapangan kerja berkualitas," katanya.