Kamis 07 Mar 2013 22:59 WIB

Harga Minyak Melejit, Revisi APBN Dinilai Perlu

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Harga Minyak Naik (Ilustrasi)
Foto: Mentalfluss Blogspot
Harga Minyak Naik (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 dinilai perlu dipercepat. Pendapat ini muncul setelah ada lonjakan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).

 Lonjakan ICP tentu akan menambah beban anggaran khususnya dari sisi subsidi.  "Jadi, saya lebih cenderung untuk revisi APBN," tutur Ekonom Center for Information and Development Studies (Cides) Umar Juoro saat dihubungi Republika, Kamis (7/3). 

 

Sebagai catatan, Tim Harga Minyak Indonesia mencatat ICP rata-rata per Februari 2013 berdasarkan perhitungan formula ICP meningkat menjadi 114,86 dolar AS atau sekitar Rp 1,1 juta per barel.

Harga ini meningkat 3,79 dolar AS (Rp 36 ribu) per barel dari harga rata-rata per Januari 2013 yang menyentuh 111,07 dolar AS (Rp 1,07 juta) per barel. 

Sementara dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN ICP dipatok sebesar 100 dolar AS (Rp 9,68 juta) per barel. Umar menjelaskan, pada dasarnya lonjakan ICP memiliki sisi positif dan negatif. 

Sisi positifnya adalah penerimaan negara dapat meningkat, walaupun pada kenyataannya produksi minyak Tanah Air mengalami penurunan. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan lifting minyak rata-rata pada 2013 rata-rata 830 ribu bph.

Sementara sisi negatifnya adalah beban subsidi akan bertambah.

Tak hanya itu, Umar memperkirakan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar 46 juta kl dalam APBN yang ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR akan bobol. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk mewaspadai kenaikan ICP dan potensi kuota tembus lagi.

Meski, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan revisi APBN 2013 belum akan dipercepat.  Itu artinya, walaupun deviasi asumsi dasar ekonomi makro seperti ICP telah terlihat, asumsi dasar semula masih dipertahankan

"Belum mendesak. Sampai saat ini pembahasan ke arah sana belum betul-betul kita dalami," kata Mahendra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement