REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga sapi mencapai 13-16 persen setiap tahun. Peningkatan ini terhitung sejak 1999 hingga 2012.
"Kenaikannya di atas tingkat suku bunga dan di atas inflasi," ujar pengamat ekonomi dan kebijakan publik Ichsanudin Noorsy, Jumat (22/2).
Persoalan seputar daging sapi, menurut dia, berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah membenahi rantai distribusi. Persoalan ini membuat pembenahan insfrastruktur terpusat di beberapa wilayah saja.
Sentra produksi pun seharusnya tidak ditumpukan pada daerah yang tingkat penduduknya tinggi seperti di Pulau Jawa. Selain keterbatasan infrastruktur, akhirnya pakan ternak juga menjadi terbatas. Peternakan seharusnya direncanakan secara menyeluruh agar rantai pemasokan semakin pendek.
Pemerintah disarankan untuk mengaudit pula struktur biaya hingga terbentuknya harga pasar. Pembentukan struktur harga ini berguna untuk menentukan kontrol harga. Pemerintah saat ini mandul dalam menentukan harga sapi. BUMN pun diharuskan memperbaiki indeks persaingan dalam membangun daya saing peternak.
Pengurangan kuota impor juga tidak diikuti dengan kemampuan domestik menyediakan sapi. Potensi swasembada sapi tidak bisa diserahkan pada 6,4 juta peternak yang ada. Sapi yang milik peternak bukanlah komoditi yang bebas diperdagangkan.
Sementara itu, dari 100 ekor sapi diperkirakan hanya 51 ekor yang siap didistribusikan ke pasar. "Kalau dipararelkan dengan kebutuhan suplai, tidak mungkin dia (peternak) bisa menyediakan 14,8 juta ekor sapi kebutuhan nasional," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO), Joni Liano.