REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menangguhkan izin ekspor 20 eksportir karena tak melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) melalui bank devisa di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengakui masih ada perusahaan ekspor yang masih ingin mencoba untuk melanggar aturan Bank Indonesia (BI) tersebut. Meski pun aturan ini sudah diberlakukan secara resmi.
"Padahal BI sudah mensosialisasikan kepada Apindo dan mereka bahkan sudah memberikan batas waktu sebelum pelaksanaan, sekitar enam bulan," kata Sofjan kepada Republika, Jumat (15/2).
Meski demikian, Sofjan mengharapkan BI untuk melakukan proses pendataan yang akurat. Sebelum memberikan hukuman untuk perusahaan yang bersangkutan. Karena sumber cadangan devisa nasional tetap berasal dari eksportir.
Beberapa sektor yang tidak melaporkan DHE itu yaitu manufaktur, pertanian, pertambangan, dan migas. Sofjan mengakui perusahaan migas dan pertambangan memang paling sulit menerapkan hal ini.
Terlebih, kedua sektor itu merasa sudah menjadi anak emas akibat adanya kontrak kerjasama dengan pemerintah. "Khususnya yang skala menengah. Tak apa jika BI memberikan mereka peringatan," ujar Sofjan.
Sofjan menduga 20 perusahaan ekspor yang ditangguhkan Ditjen Bea dan Cukai itu bukanlah perusahaan anggota Apindo. Sebab, Apindo sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh anggotanya.
Menurutnya, belum semua eksportis bersedia menjadi anggota Apindo. "Mereka (yang tak bergabung) tipenya hit and run, main akal-akalan. Mereka tak ingin terikat aturan, tak ingin membayar iuran, dan tak mau ditertibkan. Banyak pengusaha nakal di Indonesia," katanya.
Sebelumnya, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 yang menyebutkan setiap eksportir wajib melaporkan DHE melalui bank devisa dalam negeri. Ini juga termasuk eksportir yang dalam kontraknya menggunakan bank luar negeri dalam penerimaan DHE.
PBI ini berlaku efektif per 1 Januari 2013. Sofjan menilai kebijakan ini sangat diperlukan untuk menghindari capital flight gila-gilaan yang berpotensi terjadi di Indonesia seperti kejadian krisis ekonomi 1997.