Senin 11 Feb 2013 16:05 WIB

Ekonom: SPN Harus Mengarah ke Wajib Pajak Badan

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah petugas pajak melayani  pengisian dan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak.
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Sejumlah petugas pajak melayani pengisian dan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sensus Pajak Nasional (SPN) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan hanya bertujuan untuk menyediakan basis data wajib pajak (WP).  Oleh karena itu, ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menyebut tidak ada korelasi langsung antara SPN dengan peningkatan penerimaan perpajakan. 

"Kalau sebatas itu (mengandalkan SPN) memang sulit untuk meningkatkan (penerimaan) pajak," kata Latif saat dihubungi ROL, Senin (11/2).

Latif menjelaskan, setelah WP tersaring oleh SPN, dibayar atau tidaknya pajak bergantung pada WP dan kinerja petugas pajak di lapangan.  Selain itu, dibutuhkan waktu agar WP bisa membayar pajak secara efektif. 

Data Ditjen Pajak menyebutkan terdapat 2,4 juta WP baru yang terjaring dalam SPN 2012 yang terdiri dari 2,2 juta WP pribadi dan 200 ribu WP badan.  Diperkirakan, hasil SPN tersebut menghasilkan Rp 1,5 triliun bagi penerimaan pajak. Untuk 2013, ditargetkan tambahan 2,2 juta WP baru dengan proyeksi pendapatan minimal Rp 1,5 triliun. 

Lebih lanjut, Latif mengaku concern dengan jenis WP yang disasar melalui SPN.  WP yang disasar masih berkisar pada perorangan, padahal WP badan (perusahaan) juga masih memiliki ruang untuk dioptimalkan. 

Terlebih WP badan yang berhasil dijaring, proporsinya masih lebih rendah dibandingkan sensus ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS).  "WP badan harus dijadikan target utama.  Arah SPN harus ke sana," ujar Latif. 

Ia menyarankan, sebaiknya Ditjen Pajak menggandeng BPS dalam mengoptimalisasi SPN pada tahun ini.  Alasannya, kompetensi petugas BPS dalam melakukan survei sudah tidak diragukan lagi.  Selain itu, petugas BPS dibekali oleh Undang-undang Statistik sehingga perorangan maupun badan (perusahaan) yang menolak disurvei dapat dikenai sanksi. 

"Kalau teknisnya, (petugas BPS) bisa dilatih.  Intinya di sini adalah legowo atau tidaknya Ditjen Pajak," kata Latif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement