REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memperdalam lagi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/26/PBI/2012 terkait kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank (multiple license). Ke depannya, satu bank hanya bisa memiliki jaringan kantor sesuai dengan modal inti yang dimilikinya.
Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Irwan Lubis, mengatakan BI menambah variabel yang harus dipertimbangkan dalam pembukaan jaringan kantor. Yang dimaksud jaringan kantor bank di dalam negeri adalah kantor cabang (KC), kantor wilayah operasional, kantor cabang pembantu (KCP), kantor fungsional (KF) operasional, dan kantor kas. Sedangkan kantor bank di luar negeri termasuk di dalamnya KC, kantor perwakilan, dan sejenisnya.
"Nantinya, bank boleh membuka jaringan kantor cabang sesuai dengan kepemilikan modal intinya," ujar Irwan di Jakarta, Kamis (7/2). Bank Buku 4 memiliki modal inti Rp 30 triliun. Bank Buku 3 memiliki modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun. Bank Buku 2 memiliki modal inti minimum Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun. Terakhir, Bank Buku 1 yang memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun.
Irwan menjelaskan, Bank Buku 1 dan 2 hanya dapat membuka jaringan kantor di dalam negeri. Bank Buku 3 dapat membuka jaringan kantor di dalam negeri dan luar negeri yang terbatas di wilayah Asia. Bank Buku 4 dapat membuka jaringan kantor di dalam negeri dan luar negeri secara keseluruhan.
Tak kalah pentingnya, nantinya setiap bank yang membuka jaringan kantor di zona jenuh, wajib diikuti dengan pembukaan jaringan kantor di zona tak jenuh berdasarkan rasio tertentu. BI membangi zonasi perbankan di Indonesia ke dalam enam zona. Zona 1 dan 2 disebut zona jenuh yang sudah banyak terdapat jaringan kantor bank. Zona 1 adalah wilayah DKI Jakarta yang sudah mengalami over kapasitas. Sedangkan Zona 2 adalah Pulau Jawa dan Bali.
Berikutnya Zona 3 seperti Kalimantan Timur, Sumatra Utara, dan Kepulauan Riau. Zona 4 seperti sebagian Kalimantan, Sumatra, dan Papua Barat. Zona 5 didominasi wilayah Indonesia Timur. Sedangkan Zona 6 disebut wilayah underbank yang sangat minim keberadaan bank. Tiga zona terakhir dapat dikategorikan zona tak jenuh.
Direktur Utama PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, Jahja Setiaatmadja, menilai ketentuan zonasi tersebut kurang mempertimbangkan geografis Indonesia. Mendirikan kantor cabang tak sama halnya dengan mendirikan warung dimana bisa berdiri sendiri.
"Bank harus melakukan training, dan persiapan sangat lama yang tak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu setahun dua tahun, melainkan 10-20 tahun ke depan," ujar Jahja. Bank, dinilainya, akan mengeluarkan biaya operasional sangat besar. Meski BCA siap-siap saja menerimanya, namun Jahja menilai ini akan menjadi tak efisien.
Namun, berdasarkan riset BI, perbankan di Indonesia sesungguhnya belum menerapkan efisiensi terbaiknya. Riset Desember 2011 hingga Juni 2012 menunjukkan efisiensi bank-bank di dalam negeri cukup tertinggal dibandingkan bank-bank Asia Tenggara, khususnya Thailand.
Riset BI menunjukkan efisiensi Bank Buku 1 ada di level 85-87 persen. Efisiensi Bank Buku 2 sekitar 75 persen. Efisiensi Bank Buku 3 sekitar 70-75 persen. Terakhir, efisiensi Bank Buku 4 sekitar 65-67 persen. "Namun di Thailand, posisi efisiensinya sudah mencapai 52 persen," kata Irwan.