REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengakui eksplorasi minyak dan gas (migas) tak optimal. Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo realisasi eksplorasi tak sesuai harapan.
"Realisasi eksplorasi hanya 20 persen," tegasnya, Selasa (5/2). Dari target eksplorasi yang tertuang dalam rencana kerja dan anggaran (WP&B) 2012 sebesar Rp 2 miliar dolar AS, dana yang terserap hanya Rp 150 juta dolar AS.
Sejumlah persoalan seperti batalnya pengeboran dan seismik menjadi penyebab. Persoalan rig juga menjadi masalah lain. Imbasnya sejumlah proyek tak berjalan.
"Karenanya ke depan, kita siapkan help desk bersama staff menteri untuk membantu menyelesaikan persoalan ini," jelasnya. Di 2013 ini, pemerintah menganggarkan dana 2,9 miliar dolar AS untuk eksplorasi.
Dirjen Migas Kementerian ESDM A Edy Hermantoro menuturkan guna menggenjot ekplorasi, kementerian sudah mengajukan insentif fiskal. "Yakni pembebasan pajak eksplorasi," tegasnya.
Menurutnya surat resmi sudah diajukan ke Ditjen Pajak sejak 2012 lalu. Meski terdapat sinyal negatif dari Kementerian Keuangan, ia menuturkan akan kembali melakukan pembicaraan.
"Kalau 50 juta dolar AS harus mereka keluarkan untuk membeli rig, misal insentifnya 10 persen, kan lumayan mereka menghemat 5 juta dolar AS," papar Edy.
Untuk mengembangkan minat investor, pemerintah juga menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk survei seismik. Ini akan dilakukan di Teluk Salawati, Papua dan perbatasan dekat Filipina.
Pengamat migas Marwan Batubara menilai optimalisasi eksplorasi penting. Terus menurunnya produksi minyak nasional membuat pemerintah harus menemukan sumur migas baru.
Persoalan hasil eksplorasi yang minim hasil di beberapa sumur juga perlu diakali pemerintah. "Karenanya pemerintah harus satu suara," kata Marwan.
Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan sebanyak 18 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mengembalikan wilayah kerja migas. Tak ditemukannya minyak maupun kondensatnya di lapangan tersebut membuat menjadi penyebab. Diantaranya Blok Karama, yang digarap perusahaan asal Norwegia Statoil dan Pertamina.