REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS melanjutkan penguatan sebesar 20 poin pada Senin (21/1) pagi. Hal ini dipicu dari data ekonomi Cina, kata analis Trust Securities, Reza Priyambada, di Jakarta.
Nilai tukar mata uang rupiah yang di transaksi antarbank di Jakarta bergerak menguat sebesar 20 poin menjadi Rp 9.620 dibanding sebelumnya di posisi Rp 9.640 per dolar AS.
"Pergerakan nilai tukar rupiah berakhir positif setelah merespon rilis data-data dari Cina, berupa data produk domestik bruto (PDB) dan produksi industri serta penjualan ritel," jelasnya.
Ia menambahkan, dari dalam negeri penguatan rupiah didorong dari BUMN dan BI yang akan berkoordinasi dalam bentuk pembelian dolar AS. "Pebelian dolar AS oleh BUMN dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui pasar sehingga mengurangi tingkat volatilitas," kata dia.
Meski demikian, lanjut dia, laju rupiah dapat tertahan setelah merespon rilis data-data ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan sehingga memunculkan persepsi akan berkurangnya pemberian stimulus.
Selain itu, dikatakan Reza, muncul juga kekhawatiran pasar terhadap Inggris yang akan melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa. Negosiasi ulang itu untuk membahas statusnya di Uni Eropa dan adanya ancaman untuk keluar dari Uni Eropa jika tuntutannya tidak dikabulkan. Hal itu terkait dengan peran Inggris dalam pengawasan perbankan dan institusi keuangan di Uni Eropa.
Sementara, pengamat pasar uang Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, menambahkan, pascakebijakan BI yang akan mengatur pembelian valuta asing (valas) PT Pertamina dan PT PLN, dua BUMN yang banyak membutuhkan dolar AS, akan mengontribusi sekitar 30 persen dari permintaan di pasar valas Jakarta untuk membeli minyak mentah.
"Kedua BUMN itu hanya diperbolehkan membeli dolar AS pada tiga bank yang ditunjuk, dan selanjutnya ketiga bank akan meminta valas langsung kepada BI, tidak mencari di pasar," kata dia.