REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kabar menyedihkan datang dari Brebes. Daerah sentra produksi bawang itu terpaksa harus kompromi dengan pengaruh cuaca ekstrem. Curah hujan yang tinggi membuat petani bawang merah beramai-ramai melakukan panen dini.
Seharusnya musim panen baru tiba di bulan April. Namun hujan memaksa para petani untuk menyambutnya lebih awal sejak akhir Desember.
Bawang merah yang terkena hujan, sudah pasti akan membusuk jika didiamkan terlalu lama. "Bawang kalau terendam air, dua-tiga hari pasti busuk," kata Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari, Jumat (18/01).
Banjir sudah dialami petani sejak dua minggu yang lalu. Musibah ini menyebabkan kerugian sekitar Rp 60 juta untuk satu hektar (ha). Satu hektar lahan di musim normal bisa menghasilkan bawang hingga 12 ton. Kini petani hanya bisa memanen dini sekitar 5-7 ton bawang untuk satu hektar lahan.
Selain berkurangnya hasil produksi, serangan hama juga membuat petani resah. Serangan hama membuat hasil produksi berkurang drastis. Luas tanam yang biasanya mencapai 10 ribu hektar, kini hanya mencapai 1000 hektar.
Untuk memenuhi kebutuhan setahun sebanyak 900 ribu ton bawang, luas tanam yang dibutuhkan mencapai 23 ribu hektar. Belum lagi biaya produksi di musim penghujan juga besar. Tak ada pilihan lain, para petani memang harus ambil resiko dengan tetap menanam bawang. "Musim penghujan sulit untuk bertanam bawang," ujar Juwari.
Sederet kondisi tersebut menyebabkan lonjakan harga pada komoditas bawang. Jika harga sebelumnya yaitu Rp 8000, harga bawang saat ini mencapai Rp 12 ribu per kilogram (kg).