REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kewajiban HSBC untuk membayar denda hingga 1,9 miliar dolar AS akibat tuduhan pencucian uang, membuat perusahaan ini terancam tidak mampu memenuhi target bisnisnya di 2012. Mereka juga terancam kehilangan reputasinya sebagai salah satu jaringan bank terluas di dunia.
Chief Executive Officer (CEO) HSBC, Stuart Gulliver sebelumnya, berharap dapat melakukan efisiensi biaya hingga 2,5 miliar dolar AS di tahun ini. Berikutnya, perusahaan akan fokus berbisnis di pasar negara-negara berkembang yang menjanjikan keuntungan lebih besar, menyusul tekanan perbankan akibat krisis ekonomi di Eropa dan AS.
Sayangnya, 2013 belum menjelang, impian Gulliver tersakiti oleh putusan Pengadilan Tinggi Amerika Serikat (AS) yang menjatuhkan sanksi yang tidak sedikit. Itulah harga yang harus dibayarkan akibat kegagalan HSBC mengontrol tindakan pencucian dalam sistem keuangannya.
Senat AS menilai pimpinan HSBC tak ketat melakukan pengawasan. Segala mafia kejahatan, mulai dari kasus kartel narkoba, hingga jaringan teroris terbukti pernah melakukan transaksi di salah satu bank raksasa Inggris itu. Bahkan, mereka bisa mengakses transaksi hingga ke sistem keuangan AS. HSBC juga bertransaksi dengan jaringan teroris di Iran, Sudan, dan Kuba.
Profesor Hukum dari Universitas Wayne State, Peter Henning, mengatakan denda yang akan dibayarkan HSBC sangat mengejutkan. Nominal itu memperlihatkan betapa fatalnya pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu. "Ini akan menjadi perhatian semua orang. HSBC tertoreh tanda hitam. AS dan pihak berwenangnya tak akan semudah itu menjadi pemaaf," kata Henning, dikutip dari Reuters, Selasa (11/12).
Hal itu menyiratkan dampak reputasi bagi HSBC sangat signifikan, termasuk keberlangsungan dan kemulusan bisnisnya di Benua Amerika. Perusahaan harus berhati-hati karena memunyai pekerjaan rumah besar mulai tahun depan.