Rabu 14 Nov 2012 22:25 WIB

ASEAN Summit Ancam Ekonomi Nasional?

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Ten ASEAN member countries are ready to promote all aspects of life the people in the region.
Foto: oneworldmanypeaces.com
Ten ASEAN member countries are ready to promote all aspects of life the people in the region.

REPUBLIKA.CO.ID, November 2012. Pertemuan tersebut bakal menghasilkan  perdagangan bebas baru  antara ASEAN dengan enam negara yakni Jepang, Cina, India, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru yang tergabung dalam Regional Comprehensive Economic  Partnership.

Peneliti Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng, menilai pertemuan tersebut bakal membawa ancaman terhadap perekonomian nasional yang lebih besar. Pasalnya, pemberlakuan konsep Single Market & Production Base akan semakin memasifkan perdagangan bebas yang berada di bawah naungan RCEP.

"FTA akan semakin membawa dampak buruk dengan bentuk liberalisasi perdagangan,"ujar Salamuddin saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (14/11).

Salamuddin menjelaskan 'kemajuan' yang terjadi pada ASEAN Summit merupakan kelanjutan dari ASEAN Charter.

Kesepakatan antara negara-negara ASEAN terkait Free Trade Area yang telah diratifikasi dalam perundang-undangan. Menurutnya, ASEAN Charter sudah membawa pengaruh buruk kepada tingginya nilai impor dalam neraca perdagangan Indonesia. "Bisa dilihat adanya fakta serbuan barang-barang impor serta dominasi investasi asing,"jelasnya.

Dia menjelaskan terdapat beberapa FTA yang melibatkan Indonesia dalam kerangka bilateral mau pun regional. Yakni Indonesia-Jepang (IJEPA), ASEAN-Cina(ACFTA), ASEAN-FTA (CEPT-AFTA), ASEAN-Korea, ASEAN-India, ASEAN-Australia-New Zealand dan rencana CEPA (Indonesia Eropa).

Dampak dari adanya perdagangan bebas tersebut adalah nilai impor yang lebih besar ketimbang ekspor (defisit). Pada 2011, defisit neraca perdagangan non migas Indonesia dengan Jepang mencapai 948 juta USD. Sementara, defisit dengan Korea Selatan mencapai 34,9 juta dollar AS.

Defisit neraca perdagangan juga terjadi dalam perdagangan antara Indonesia dengan Australia dan Indonesia dengan Selandia Baru. Selama 2011, Indonesia mencatat defisit senilai 141,8 juta dollar AS. Dengan Selandia Baru, defisit yang tercatat senilai 27 juta dollar AS.

Indonesia menderita defisit perdangangan terbesar jika berdagang dengan Cina. Meski menurun, defisit pada 2011 masih ada di angka 3,7 milliar dollar AS sedangkan pada 2010 tercatat 5,9 milliar dollar AS.

Selain itu, Salamuddin mengungkapkan ekspor Indonesia yang umumnya berupa komoditas dan masih berbentuk bahan mentah merugikan Indonesia. Faktanya, tutur Salamuddin, pengekspor masih merupakan perusahaan korporasi asing yang berusaha di Indonesia. Sedangkan, barang yang diekspor umumnya masih merupakan bahan mentah.

"Contohnya Newmont yang mengekspor hasil tambang ke Jepang, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh perusahaan Jepang, Sumitomo,"jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement