REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mahendra Siregar mengatakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang makin meningkat setiap tahun mengakibatkan ketidakefisienan dalam pengeluaran belanja negara.
"Subsidi BBM yang makin besar bukan saja dari segi kebijakan tidak tepat, tapi (mengakibatkan) ada kesempatan yang hilang dengan mengeluarkan sebegitu besar untuk satu pengeluaran yang tidak efisien," ujarnya di Jakarta, Kamis (18/10).
Menurut Mahendra, pemerintah menanggung beban yang besar apabila penggunaan subsidi BBM makin meningkat dan tidak terkendali, padahal dana untuk subsidi dapat dimanfaatkan untuk manfaat lain sebagai stimulus dalam menghadapi krisis global.
"(Dana untuk menanggung beban subsidi) itu besar sekali, pada saat justru kita membutuhkan sumber tambahan di tengah resesi global saat ini," katanya.
Mahendra belum mau mengungkapkan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebagai upaya mengurangi beban fiskal, akibat adanya potensi pelebaran anggaran subsidi untuk tahun ini dan tahun depan.
Namun dia memastikan rencana tersebut dapat dilakukan tergantung dari pergolakan harga ICP minyak dunia dan implikasinya terhadap keberlangsungan serta keberlanjutan fiskal secara keseluruhan.
"Tapi yang saya catat dan saya cermati antara stakeholder, pemangku kepentingan utama sudah mengerti ini ada 'opportunity cos' yang besar, yang telah kita korbankan terus menerus," kata Mahendra.
Sebelumnya, pada rapat Badan Anggaran, pemerintah mengajukan tambahan subsidi energi untuk tahun ini senilai Rp 103,5 triliun, sehingga total subsidi BBM dan listrik diperkirakan mencapai Rp 305,9 triliun pada akhir tahun.
Menurut pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro, subsidi yang mencapai Rp 305,9 triliun itu akan terdiri dari subsidi BBM Rp 216,7 triliun dan subsidi listrik Rp 89,1 triliun.
Ia menjelaskan peningkatan subsidi energi didorong oleh meningkatnya volume BBM bersubsidi dari 40 juta kiloliter menjadi 43,5 juta-44,04 juta kiloliter, kenaikan harga ICP dari asumsi 105 dolar AS per barel menjadi sekitar 110 dolar AS per barel.
Kemudian melemahnya rata-rata nilai tukar rupiah dari asumsi Rp 9.000 per dolar AS menjadi Rp 9.250 per dolar AS dan terlambatnya commercial operation date (COD) pembangkit listrik tenaga uap serta kurang optimalnya pemenuhan gas untuk PLTG.
Saat ini, subsidi BBM dalam APBN-Perubahan 2012 ditetapkan sebesar Rp 137,5 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 65 triliun. Sedangkan realisasi belanja subsidi energi per 5 Oktober 2012 telah mencapai Rp 174,8 triliun atau 86,4 persen dari pagu APBN-Perubahan 2012 sebesar Rp 202,5 triliun.