Kamis 06 Sep 2012 18:55 WIB

Kadin: Neraca Gula Akurat Jangan Dihitung Produsen

Stok gula dalam gudang di Pabrik (ilustrasi)
Foto: usiness.financialpost.com
Stok gula dalam gudang di Pabrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menginginkan adanya perhitungan neraca gula yang akurat. Perhitungan akurat itu, menurut Kadin perlu dilakukan pihak surveyor independen sehingga hasil perhitungan tersebut ke depan lebih dipercaya dan valid.

"Ke depan kami ingin ada hitungan neraca gula yang akurat. Selama ini, neraca gula dihitung berdasarkan laporan produsen," kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, Kamis (6/9).

Menurut dia, perhitungan yang dilakukan selama ini merupakan perhitungan yang konvensional, tidak dinamis, dan sarat dengan kepentingan sektoral. Apalagi pada saat ini kerap terjadi penggantian musim yang berubah-ubah.

Untuk itu, ia mengemukakan keinginannya agar perhitungan neraca gula dapat dilakukan oleh para surveyor independen. Terlebih selama ini permasalahan gula nasional semakin ruwet karena tidak seimbangnya antara produksi dan konsumsi.

"Target produksi gula nasional 2,7 juta ton, namun produksi hanya 2,1 juta ton. Kalau hanya 2,1 juta ton, hanya dapat dinikmati oleh 175 juta penduduk Indonesia dengan perhitungan konsumsi gula 12 kg per kapita per tahun, sedangkan penduduk Indonesia 240 juta mulai dari Sabang sampai Merauke," katanya.

Natsir berpendapat, produksi gula oleh produsen gula yang sebesar 2,1 juta ton hanya mampu dikonsumsi penduduk di Jawa saja, sementara daerah luar Jawa sulit mendapat distribusi gula.

Karenanya, Wakil Ketua Umum Kadin menyebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembenahan gula nasional yaitu perlunya pengaturan atas produksi gula kristal putih (GKP) terutama dalam hal perdagangan dan distribusi.

Terhadap daerah yang sulit memperoleh distribusi gula konsumsi, ujar dia, maka daerah tersebut perlu mendapatkan kesempatan untuk mengimpor gula konsumsi.

Kedua, ujar dia, kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) juga perlu dihitung ulang agar kebutuhan pasti industri makanan dan minuman yang menggunakan GKR tersebut benar-benar dapat dipastikan.

"Kasus yang terjadi di KTI (kawasan timur Indonesia) adalah produksi GKR besar, namun industri yang menyerap kurang, sehingga terjadi perembesan," kata Natsir Mansyur.

Terakhir, lanjutnya, pemerintah juga perlu mencermati mengenai industri GKR yang tidak mempunyai bahan baku tebu apakah memiliki status sebagai produsen GKR atau GKP karena hal itu dinilai akan menambah permasalahan gula nasional.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement