Ahad 26 Aug 2012 21:18 WIB

Pemerintah Harus Transparan Soal Dana Siaga di RAPBN

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Hafidz Muftisany
  Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Foto: Haji Abror Rizki/Rumgapres
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, Pemerintah memperoleh komitmen pinjaman siaga (stand by loan) sebesar lima miliar dolar AS atau setara Rp. 46,5 triliun berdasarkan asumsi kurs Rp. 9.300 per dolar AS.

Pinjaman tersebut bertujuan sebagai antisipasi jika pemerintah menghadapi kesulitan pembiayaan APBN pada 2013.  Pinjaman siaga tersebut bersumber dari Bank Dunia melalui 'Program for Economic Resilience, Investment and Social Assistance in Indonesia' (PERISAI) sebesar dua miliar dolar AS (Rp. 18,6 triliun).

Kemudian Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui program 'Precautionary Financing Facility' sebesar 500 juta dolar AS (Rp. 4,65 triliun), Pemerintah Australia melalui program 'Contingency Facility) sebesar satu miliar dolar AS (Rp. 9,3 triliun) dan Pemerintah Jepang, dalam hal ini Japan Bank for International Cooperation (JBIC), melalui program 'Contingent Loan Facility) sebesar 1,5 miliar dolar AS (Rp. 13,95 triliun).  

Pengamat Ekonomi Desmond Silitonga mengatakan pinjaman siaga tersebut merupakan sesuatu yang wajar.  Akan tetapi, Desmond menyebut pemerintah harus memperhatikan transparansi pengelolaan anggarannya. 

Terlebih, pinjaman siaga ini telah dianggarkan sejak lama oleh pemerintah dan akan dikenakan bunga apabila tidak digunakan.  "Harus dijelaskan, ini akan di kemanakan," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (26/8).

Selain pinjaman, kata Desmond, setiap tahunnya pemerintah selalu mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN) untuk menutupi defisit APBN.  Namun, kebijakan ini akan senantiasa menimbulkan kritikan dari berbagai pihak.  Mengingat, dampaknya yang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement