REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suku bunga kredit perbankan nasional makin menunjukkan tren penurunan, meski tipis. Bank Indonesia (BI) menilai, perbankan sekarang tak punya pilihan selain menurunkan suku bunga kredit karena faktor efisiensi dan ketatnya persaingan antarbank.
“Bunga kredit sudah ada penurunan. Kalau kami lihat dari suku bunga dasar kredit (SBDK) yang diumumkan oleh bank-bank, menurun,” ujar Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad, di Jakarta, Rabu (27/6).
Penurunan SBDK terutama terjadi pada kredit korporasi hingga di bawah 10 persen. Sedangkan kredit ritel masih berada di level 12-14 persen. “(Bunga kredit korporasi) sembilan persen itu sudah jadi angka paling rendah,” ujar Muliaman.
Ia memaparkan, penurunan bunga kredit dipicu dua faktor, yakni efisiensi dan persaingan antarbank. Muliaman melihat, operasional bank makin efisien. Sedangkan persaingan merebut nasabah semakin ketat. Ini membuat mau tidak mau bank harus menurunkan bunga kreditnya.
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengisyaratkan, bunga kredit perbankan bisa lebih turun lagi. Namun, perbankan nasional masih terkendala dana institusi yang cukup besar di portofolio dana pihak ketiga mereka. Peralihan dana institusi ini, bila ada perubahan suku bunga, akan menggoyang kinerja bank.
“Sehingga, bank harus menjaga dana institusi dengan tingkat suku bunga yang kompetitif dibandingkan dengan bank lain,” ujarnya. Dengan bunga deposito yang tinggi, biaya dana di perbankan membesar. Suku bunga kredit pun akan menyesuaikan besarnya biaya dana.
Berbeda dengan Muliaman, Sigit melihat perbankan nasional justru belum cukup efisien. Ini tecermin dari besaran overhead cost yang masih cukup tinggi. Penyebabnya karena bank sedang ekspansi cabang, menambah mesin anjungan tunai mandiri, dan lain-lain.
Peneliti perbankan, Purbaya Yudhi Sadewa, juga mengatakan, tingkat suku bunga kredit di Indonesia bisa lebih rendah lagi. Namun, ia melihat justru bank sentral yang terkesan enggan mengendalikan bank untuk menurunkan bunga. Akibatnya, kata dia, BI seolah-olah melegalkan ada kekuatan oligopoli perbankan di dalam negeri.
Pelaku perbankan, kata Purbaya, tak akan pernah mengakui jika suatu ketika mereka (para pimpinan bank) saling bertemu dan melakukan setting bunga pinjaman. Purbaya melihat ada praktik walau tanpa pembicaraan sekalipun, pelaku bank saling memberi kode suku bunga pinjaman yang akan mereka berlakukan. "Praktik ini klasik dan sudah berkembang lama," ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengungkapkan, struktur pendanaan di perut bank nasional masih didominasi dana mahal (deposito) ketimbang dana murah seperti tabungan atau giro. Data BI pada April 2012 menunjukkan porsi deposito dalam dana pihak ketiga (DPK) bank umum mencapai 46,04 persen, lebih tinggi dari giro (22,57 persen), dan tabungan (31,39 persen).
Ini membuat biaya dana tinggi dan pendanaan bank bergantung pada sejumlah kecil nasabah yang memiliki dana besar. “Akibatnya, posisi tawar bank terutama bank menengah kecil tidak equal. Artinya, kalau bank menurunkan bunga deposito sedikit, deposan gampang switching (beralih),” ungkap Destry.