REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan, mengatakan, implementasi proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dapat menjadi solusi bagi Indonesia untuk menghadapi imbas krisis ekonomi yang terjadi di Eropa.
"Apabila pertumbuhan Eropa terkontraksi tajam dan pertumbuhan ekonomi dunia melemah, maka pemerintah harus merealisasikan MP3EI betul-betul sesuai rencana," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin malam.
Menurut dia, Bank Indonesia juga perlu melakukan intervensi pada pasar valas dan kalau perlu menaikkan suku bunga apabila krisis global mulai berimbas kepada kondisi fiskal dan moneter ekonomi Indonesia.
"Dari sisi Bank Indonesia, perlu intervensi di pasar valas, dan kalau perlu menaikkan suku bunga," ujar Fauzi.
Fauzi mengatakan situasi yang terjadi di Eropa saat ini dan menyebabkan pelemahan rupiah serta IHSG, tergantung kepada hasil pemilihan umum di Yunani yang akan berlangsung pada pertengahan Juni mendatang.
Ia mengatakan apabila partai yang menjadi pemenang pemilu adalah partai yang mendukung program Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Sentral Eropa (ECB) maka Yunani akan bertahan dalam Zona Eropa dan penguatan nilai tukar rupiah akan terjadi pasca pemilu tersebut.
"Paling tidak kurs dolar melemah dulu sebelum pemilu Juni. Tapi setelah hasil pemilu keluar dan menenangkan pasar, rupiah kembali menguat, akhir tahun bisa Rp9.000 per dolar AS dalam arti kata pemerintah Yunani setuju untuk melakukan pengetatan ikat pinggang," ujarnya.
Dalam skenario ini, lanjut Fauzi, pertumbuhan ekonomi Eropa akan terkontraksi sebesar 0,8 persen dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan mencapai angka enam persen.
Namun, apabila dalam pemilu Yunani yang menjadi pemenang adalah partai yang menolak program IMF dan ECB, maka ada kemungkinan Yunani keluar dari Zona Eropa dan tidak sanggup membayar utang serta gaji pegawai sehingga kembali menggunakan mata uang Drachma.
"Kalau terjadi, IMF, Uni Eropa dan ECB dapat cepat meredam krisis tersebut. ECB menyuntikkan likuiditas ke perbankan Eropa, lalu pemerintah Uni Eropa memberi jaminan deposito dan juga rekapitalisasi dana segar sehingga ekonomi Eropa (walau) terkontraksi, tapi tidak dalam," ujarnya.
Menurut Fauzi, dalam skenario ini pertumbuhan ekonomi Eropa mengalami pelemahan sebesar dua persen - tiga persen dan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat hingga hanya mencapai 5,8 persen.
"Rupiah bisa melemah hingga Rp9.900 per dolar AS, sebelum menguat ke Rp9.200 per dolar AS pada akhir tahun," katanya.
Skenario terburuk, kata dia, mirip skenario sebelumnya yaitu Yunani keluar dari Zona Eropa, namun IMF maupun ECB telat dalam mengantisipasi perubahan tersebut sehingga krisis terlanjur menjalar ke kawasan Eropa lain.
"Pertumbuhan ekonomi Eropa akan kontraksi 5,8 persen dan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 4,8 persen. Rupiah tembus Rp10.000 per dolar AS, tapi akhir tahun menguat Rp9300-Rp9400 per dolar AS," katanya memprediksi.
Fauzi mengatakan suasana penuh ketidakpastian yang terjadi akhir-akhir ini akan berakhir ketika hasil pemilu Yunani diumumkan, namun Bank Indonesia perlu melakukan intervensi pada pasar valas agar rupiah tidak merosot tajam.