REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Penjualan saham Bank Danamon oleh Temasek Holdings ke DBS Group Holding (DBS) dinilai melanggar peraturan Bank Indonesia (BI) mengenai single presence policy (SPP).
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengatakan, DBS telah memiliki bank yang telah beroperasi sebelumnya di Indonesia, yakni DBS Indonesia. Karena itu, jika Temasek tetap menjual sahamnya di Bank Danamon ke DBS, maka DBS akan menjadi pemilik mayoritas Danamon.
“Mereka akan terkena aturan BI mengenai SPP, sebab DBS memiliki 99 persen saham DBS Indonesia,” kata Maruarar kepada Republika, Senin (2/4).
Maruarar melanjutkan, jika Temasek Holdings tetap nekat menjual sahamnya di Bank Danamon ke DBS, maka Komisi XI DPR akan segera memanggil BI sebagai regulator untuk menjelaskan hal itu. Menurut Maruarar, penjualan saham bank sepatutnya harus sepengetahuan BI. “Ya tentu kita akan minta penjelasan BI,” katanya.
Dikatakan, rumor Temasek Holdings akan melepas sahamnya di Bank Danamon ke DBS sebenarnya sudah berhembus sejak akhir Januari 2011. Namun, rumor itu tak kunjung terbukti sejalan dengan internal BUMN Singapura yang tak satu suara.
Sebagian pihak ingin menggabungkan Danamon dan DBS Indonesia agar makin efisien karena sama-sama beroperasi di Indonesia dan kepemilikan yang sama, yaitu Temasek. Namun sebagian lain tak menginginkan konsolidasi karena Danamon masih menguntungkan.
Sebelum muncul nama DBS, pelepasan saham Danamon juga dikaitkan dengan tawaran Bank of China, Standard Chartered, dan beberapa institusi keuangan lainnya, seperti Jardine Matheson. Namun, manajemen DBS berkali-kali membantahnya. Mereka mengatakan, skenario yang menyebutkan DBS akan mengakuisisi atau menggabungkan diri dengan bank lain hanya spekulatif. Akan tetapi, kedekatan DBS dan Temasek ternyata membuahkan skenario lain.
Indikator kedekatan Temasek dan DBS tampak dari posisi Peter Seah sebagai Chairman DBS yang juga dewan penasihat Temasek. Sementara anggota dewan DBS Kwa Chong Seng adalah Deputi Chairman Temasek.