REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memprediksi dampak penyesuaian kenaikan harga BBM hanya akan berlangsung selama 3 bulan sejak kebijakan tersebut diumumkan. Hingga akhir tahun bank sentral memproyeksikan tingkat inflasi akan berada pada level 6,8 hingga 7,1 persen.
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution menyatakan, resiko inflasi di 2012 sangat sulit dihindari. “Tapi kami perkirakan dampak tersebut bersifat sementara,” katanya, Jumat (9/3). Menurutnya, penyesuaian BBM khususnya pada sektor transportasi hanya akan naik selama 3 bulan setelah diumumkan harga baru. “Kemudian akan kembali normal,” katanya.
Hal ini menurutnya tidak perlu dikhawatirkan karena dalam prospektif jangka menengah panjang, kebijakan BBM akan efektif pada kebijakan fiskal dan neraca pembayaran. “BI akan menempuh langkah kebijakan agar inflasi segera di sasarannya. Dengan tetap memperhatikan perekonomian secara keseluruhan,” katanya. BI lanjutnya, juga terus berkoordisasi dengan pemerintah agar tidak terjadi kenaikan harga secara berlebihan.
Sejauh ini menurutnya, inflasi masih mengalami tren menurun. Indeks Harga Konsumen (IHK) sampai Februari mencapai 0,81 persen. atau sebesar 3,56 persen (yoy). Bila setahun ini hanya ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL), maka inflasi akan bertengger di level 4,4 persen. Tapi dengan ada penyesuaian harga BBM dan TDL, inflasi diperkirakan akan berada antara level 6,8 persen sampai. 7,1 persen. “Tergantung skenarionya. Kalau naik Rp1.500 maka inflasi akan mencapai 6,8 persen. Tapi kalau yang dipilih subsidi konstan, maka inflasi 7,1 persen,” katanya.
Selanjutnya, menurut Darmin, prospek neraca pembayaran Indonesia tahun ini masih cukup baik. “Karena defisitnya masih bisa diimbangi surplus neraca modal dan finansial yang cukup besar,” katanya. Selain itu ditopang oleh masuknya investasi langsung tunai (FDI) yang diperkirakan akan masuk lebih banyak pada semester kedua. “Di semester pertama ini tekanannya masih tinggi karena capital inflow belum masuk. Surplus masih, tapi tidak terlalu besar. Tidak sebesar perkiraan bulan lalu,” ujarnya.
Sementara itu, neraca transaksi berjalan akan terus defisit. Hal ini lanjutnya, sudah mulai terjadi sejak kuartal-kuartal terakhir tahun lalu. Defisit itu merupakan hasil dari beberapa faktor. Yaitu neraca minyak dan gas (migas) yang defisitnya terlalu besar karena kuatnya permintaan domestik, sementara produksi sedikit. Beban yang berat karena defisit neraca migas akan melebihi terus surplus neraca non migas sehingga defisit.
“Bila defisit transaksi berjalan konsisten terjadi, maka akan terjadi tekanan nilai tukar rupiah,” katanya. Kecuali bila FDI bisa melamapaui defisit tersebut. Bila tidak maka kurs akan tertekan. Trelebih dengan adanya dampaknya tingginya harga BBM. Sehingga Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar akan berkisar Rp 8.900 hingga Rp 9.200.