Senin 27 Feb 2012 19:28 WIB

Kisah Yogi Tyandaru, Konsep Ibadah dan Dagang (I)

Rep: lilis sri handayani / Red: M Irwan Ariefyanto
 Yogi Tyandaru
Foto: wordpress
Yogi Tyandaru

REPUBLIKA.CO.ID,Jika menanam padi, maka rumput pasti ikut tumbuh. Namun jika menanam rumput, maka jangan harap padi akan ikut tumbuh. Perumpaan itu pas dilekatkan pada roda usaha yang dijalankan pemilik jaringan pasar swalayan Fajar Toserba, Yogi Tyandaru. Dalam menjalankan usahanya, dia lebih mengedepankan ibadah dibandingkan pencarian laba. Hasilnya, usahanya berkembang pesat. Tak hanya berperan dalam dakwah untuk mendekatkan diri dan masyarakat pada Allah, usahanya juga mendatangkan keuntungan berlipat ganda.

Yogi bercerita, Fajar Toserba sebenarnya dirintis pertama kali oleh ayah mertuanya, H Jana. Kala itu, sang ayah mertua menjadi pedagang rokok keliling selama 11 tahun di Jakarta. Dari usaha menjajakan rokok, mulai dari Tanah Abang, Mangga Dua, dan Pasar Pagi, ayah mertuanya jadi tahu pusat penjualan berbagai macam barang. Seperti misalnya sepatu, pakaian, maupun ikat pinggang.

Dengan bekal ilmu itu, H Jana mendirikan toko kecil di rumahnya di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan pada 1997. Semakin hari, usahanya semakin berkembang. Dia pun membuka toko lagi di pasar Kramat Mulya dan di Jalan Raya Jalaksana. Toko di Jalaksana inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Fajar Toserba.

Yogi baru memasuki kehidupan H Jana saat menikah dengan putri tunggalnya pada 2001. Saat itu, dia diminta oleh ayah mertuanya untuk membantu mengembangkan Fajar Toserba. Namun, lulusan Fikom Unisba Bandung itu menolaknya. Jiwa jurnalisnya yang gemar berpetualang membuatnya lebih memilih tetap bekerja dan tinggal di Jakarta.

Namun, Jakarta ternyata bukan tempat terbaik untuknya. Buktinya, Yogi tergolek sakit hingga dua tahun lamanya. Berbagai upaya pengobatan tak jua membuahkan kesembuhan. Dia kemudian berusaha introspeksi mengenai dosa dan kesalahannya, terutama pada orang tua. Dia ingat, pernah menolak permintaan mertuanya yang menghendakinya pulang guna membantu mengembangkan usaha Fajar Toserba. ‘’Saya akhirnya sadar dan minta maaf pada ayah mertua,’’ tutur Yogi,  

Ternyata, kesediaannya mengikuti keinginan sang ayah mertua adalah keputusan yang tepat. Buktinya, sakit yang dideritanya selama dua tahun langsung sembuh. Dia akhirnya terjun mengikuti usaha ayah mertuanya.

Namun, meski berstatus sebagai menantu pemilik Fajar Toserba, tak membuat Yogi langsung menduduki tampuk kepemimpinan. Ayah mertuanya justru mendidiknya dari level terbawah. Saat itu, dia ditugaskan menjadi petugas cleaning service di Fajar Toserba. ‘’Coba bayangkan, lulusan sarjana jadi cleaning service,’’ kata Yogi.

Ia ditempatkan sebagai petugas penitipan barang. Di pos barunya itu, dia sering menjadi sasaran kemarahan pengunjung yang tersinggung jika harus menitipkan barang.cTak berhenti sampai disitu, ‘karier’ Yogi terus meningkat. Silih berganti dia merasakan berbagai posisi pekerjaan di toserba milik ayah mertuanya. Mulai dari pelayan toko, sopir pengangkut barang, petugas input data, hingga kasir. Meski merasa perih dan sempat berburuk sangka terhadap perlakuan ayah mertuanya, dia tetap menjalani semua itu. Yogi akhirnya sadar, ada makna besar dibalik perlakuan yang diterimanya. Ayah mertuanya tidak ingin dia menjalankan usaha itu secara instan. Karena salah satu kelemahan pribumi yang terjadi selama ini adalah kegagalan saat regenerasi. Biasanya, generasi pertama yang merintis dan mengembangkan usaha, generasi kedua justru yang menghancurkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement