REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) minta pemerintah membebaskan rotan alam dari tata niaga ekspor. Pasalnya tata niaga ekspir selama ini membelenggu dan menghancurkan potensi ekonomi komoditas itu.
Wakil Ketua Umum APRI, Julius Hoesan, di Jakarta, Senin (8/8), mengatakan, tata niaga ekspor yang membelenggu ditambah merosotnya daya serap bahan baku rotan dan pengalihan penggunaan bahan baku ke rotan sintetis oleh industri mebel dalam negeri telah menghancurkan nilai ekonomis komoditas ini.
Kondisi itu membuat petani, pekerja, dan pengusaha rotan di daerah penghasil rotan di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara mengalami kehancuran.
Julius menuturkan, regulasi tata niaga rotan yang silih-berganti ditetapkan sejak 1986 bertujuan menghambat ekspor rotan guna memproteksi industri hilir yang berpusat di Jawa. Namun, tata niaga yang diterapkan terbukti tidak berhasil mengembangkan penggunaan rotan di dalam negeri.
Sebaliknya, kata Julius, regulasi ini malah mendorong dunia menciptakan rotan imitasi sebagai pengganti rotan asli. "Ini bukti regulasi pemerintah balik menghantam dan menghancurkan nilai ekonomis komoditas rotan alam asli bangsa kita," ujar Julius.
Pemerintah, ujarnya, boleh memberi proteksi kepada industri hilir agar bisa bertumbuh, namun bentuk proteksi tersebut jangan balik menghancurkan nilai ekonomis komoditas rotan asli Indonesia. "Serta jangan menghancurkan kehidupan masyarakat di hulu," kata dia.
Padahal imbuhnya, sekitar 85 persen populasi rotan dunia berada di Indonesia dengan potensi produksi lestari rotan Indonesia mencapai 247.000 ton per tahun.
Sementara itu, pemakaian rotan alam oleh industri mebel dalam negeri saat ini tidak mencapai 20.000 ton per tahun. Sehingga terjadi kelebihan produksi sangat besar yang seharusnya bisa bermanfaat bagi negara maupun masyarakat di daerah penghasil rotan.
Julius juga mengungkapkan, dari 350-an species rotan yang tumbuh di Indonesia, hanya 6-7 spesies yang dimanfaatkan oleh industri mebel rotan yang berpusat di pulau Jawa. Itupun tidak semua ukuran diameter dari 6-7 species ini bisa terserap.
"Apakah pemerintah mau menelantarkan kelebihan potensi produksi dan jenis rotan yang tidak terpakai ini dari pada memberi manfaat bagi masyarakat di daerah penghasil rotan yang berada di pedalaman pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara? Apakah mau nilai ekonomis komoditas kebanggaan Indonesia ini hilang oleh gempuran rotan plastik yang tumbuh pesat di dunia ini?," kata dia.
Julius menuding, banyak oknum yang selalu membuat opini di media seolah-olah yang diekspor selama ini adalah "rotan mentah yang tidak bernilai tambah" dengan tujuan membiarkan kehancuran rotan alam.
Padahal, menurut dia, rotan alam yang diekspor selama ini adalah rotan olahan setengah jadi dengan tingkat perolehan nilai tambah ekonomis maupun nilai tambah sosial di daerah penghasil rotan. "Lagi pula yang diekspor selama ini terbanyak adalah jenis dan ukuran yang tidak terserap oleh industri mebel dalam negeri," katanya.
Karena itu, kata Julius, untuk mempertahankan nilai ekonomis rotan alam dan manfaatnya bagi masyarakat dunia, terutama bagi masyarakat di daerah penghasil rotan, maka APRI mengharapkan pemerintah dapat segera membebaskan semua jenis rotan olahan dari ketentuan tata niaga.
Rotan olahan hendaknya bebas diekspor apabila tidak dipergunakan di dalam negeri. Apalagi terhadap rotan tanaman rakyat yang sejak dulu ditanam oleh masyarakat Kalimantan secara turun temurun.
Saat ini, tata niaga rotan diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (permendag) No.36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Ketentuan tersebut akan berakhir masa berlakunya Agustus ini.