REPUBLIKA.CO.ID, MANADO - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Ardhayadi Mitroatmodjo memperingatkan tiga tantangan sekaligus risiko yang masih harus dihadapi ekonomi Indonesia dalam tahun ini. "Tiga tantangan pertama, risiko terkait global economic imbalance, kedua, risiko terkait lalu lintas modal global dan sengketa mata uang (currency war), serta risiko terkait permintaan domestik dan tekanan inflasi," kata Ardhayadi dihadapan jajaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), perbankan, asosiasi di Manado, Senin (18/4).
Ardhayadi mengatakan, tantangan pertama, disebabkan dua tahun pasca krisis, ekonomi global berjalan dalam dua laju kecepatan yang berbeda (two speed recovery), laju kecepatan pemulihan ekonomi negara emerging market jauh melampaui negara maju karena mereka pada kebijakan akomodatif sebaliknya negara emerging market menghadapi tantangan untuk mencegah pemanasan ekonomi.
Risiko terkait lalu lintas modal global dan currency war, kata Ardhayadi, karena arus deras aliran modal mengakibatkan tekanan apreasiasi, risiko penggelembungan asset, dan kerentanan terkait capital reversal. "Ini tentunya menimbulkan komplikasi pengelolaan kebijakan makro termasuk di Indonesia, karena respon kebijakan intervensi valas dan pengaturan arus modal menyebabkan dampak apresiasi berbeda dari satu negara dengan yang lainnya," kata Ardhayadi.
Sementara mahalnya biaya pemupukan cadangan devisa akibat intervensi tersebut, kata Ardhayadi mendorong negara emerging market mengalihkan penempatan devisa ke sesama negara emerging market dan ini akan menimbulkan eksternalitas negatif. Sementara risiko ketiga, kata Ardhayadi terkait permintaan domestik dan tekanan inflasi, dimana karena krisis global tahun 2008/2009 menyebabkan perdagangan baik inter maupun intra-regional merosot.
"Kemerosotan perdagangan tersebut memotivasi banyak negara mengedepankan strategi mendorong permintaan domestik (domestic driven)," kata Ardhayadi.
Tetapi bersandar pada permintaan domestik justru mengandung dua implikasi yang perlu dicermati, pertama kondisi tersebut dapat memicu inflasi, karena sisi penawaran kurang fleksibel dalam merespon akselerasi sisi permintaan. Implikasi lainnya, impor tumbuh lebih cepat padahal kandungan impor dalam ekonomi kita masih terlalu tinggi sehingga dampaknya surplus neraca transaksi berjalan menurun atau bahkan berbalik defisit.
"Mengingat pangsa modal jangka pendek dalam komposisi arus modal masuk masih besar, maka risiko pembalikan neraca transaksi berjalan menjadi defisit secara cepat perlu diwaspadai," kata Ardhayadi.