REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat hukum Muladi menyarankan agar sengketa kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut dengan PT Berkah Karya Bersama (BKB) diselesaikan dengan cara mediasi agar dicapai "win-win solution" (saling menguntungkan) dan tidak berlarut-larut.
"Yang baik mediasi. Jika tidak maka penyelesaiannya akan panjang," kata Muladi yang juga mantan Menteri Kehakiman di Jakarta, Selasa.
Muladi mengatakan, upaya mediasi tersebut dimungkinkan karena ada undang-undang yang mengatur hal tersebut dan juga ada asosiasi yang menangani upaya penyelesaian masalah dengan cara mediasi. Ia mengatakan, jika menggunakan jalur hukum maka akan ada yang kalah dan ada pula yang menang. "Akan menimbulkan sengketa baru (jika melalui jalur pengadilan)," katanya.
Ia mengatakan, jika BKB menang maka tentu Tutut akan melakukan banding. Sebaliknya, jika Tutut memang maka bisa terjadi kasus akan dibawa ke pidana. Terlepas dari itu Muladi mengatakan sengketa tersebut cukup menarik disimak karna sarat pendidikan hukum dan etika bisnis.
Kasus berawal saat krisis moneter 1998. Untuk mengatasi persoalan, pada 22 Agustus 2002, Tutut sebebagai pemilik saham 100 saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang lebih dikenal dengan TPI, mengadakan investment agreement dengan PT BKB.
Isinya, BKB berjanji melunasi utang Tutut dan jika dapat menyelesaikannya maka ia berhak melakukan subskripsi terhadap saham baru yang akan dikeluarkan TPI dengan harga dan jumlah yang harus disepakati oleh pemegang saham lama untuk kepemilikan saham 75 persen.
Pada 3 Juni 2003 Tutut memberikan surat kuasa kepada Hary Tanoe (BKB). Namun pada 16 Maret 2005 surat kuasa dicabut Tutut dan sekaligus membatalkan invesment agreement karena Tutut menilai terjadi hal yang dianggap diluar batas kesepakatan. Tutut juga bersedia mengganti biaya yang telah dikeluarkan Hary Tanoe.
Pada 17 Maret, Tutut menyelenggarakan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) untuk mengganti pengurus PT CPTI. Namun pendaftaran hasil RUPSLB ditolak akses pengesahannya oleh sisminbakum tanpa alasan yang jelas.
Pada 18 Maret, Hary Tanoe menggelar RUPSLB juga. Hasil rapat menghilangkan saham Tutut sebanyak 75 persen sehingga Tuutut hanya menjadi pemegang saham sebesar 25 persen. Hal itu dilakukan dengan cara mengkonversi utang menjadi saham. Alasan konversi saham sebagai imbalan telah berhasil melunasi utang. Hasil RUPLSB Hary Tanoe tersebut disahkan oleh Sisminbakum Depkumham.
Menurut Muladi, pihak Tutut menilai pengalihan saham tidak sah karena didasarkan atas surat kuasa yang sudah dicabut dan surat kuasa tidak mencakup kewenangan untuk mengkonversi utang menjadi saham.
Selanjutnya pada awal tahun 2010, tim khusus Depkumham mengeluarkan rekomendasi bahwa RUPSLB yang digelar 18 Maret tidak sah karena cacat hukum. Selain itu pada 8 Juni 2010 juga ada surat Plh Direktur Perdata Dirjen AHU yang mencabut SK Menkumham terkait masalah tersebut.
Pada kesempatan itu Muladi meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat memutus perkara secara profesional. Muladi juga meminta pengadilan memperhatikan invesment agreement.
Sebelumnya, Hary Tanoesoedibjo menegaskan, 75 persen saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia diberikan Mbak Tutut kepada PT BKB pada 2005 sebagai imbalan atas jasa BKB yang telah membayarkan utang-utang TPI dan Mbak Tutut.
Oleh karena itulah, Hary Tanoe menegaskan bahwa pengambilan kembali TPI oleh Mbak Tutut tidaklah sesuai dengan perjanjian.