REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menolak keinginan sejumlah bank BUMN yang mengharapkan obligasi rekapitalisasi yang dimilikinya diperhitungkan sebagai kredit sehingga Loan to Deposit Ratio (LDR) bisa meningkat sesuai batas minimal yang diatur BI. "Kalau ada bank yang minta obligasi rekapitalisasi jadi komponen kredit. Itu bisa-bisa saja, tetapi kita maunya itu tidak masuk (sebagai hitungan kredit), karena kita ingin kredit yang bermanfaat bagi pertumbuhan," kata Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad di Jakarta, Ahad (20/3).
Menurutnya, sulit untuk mewujudkan keinginan bank-bank BUMN tersebut karena obligasi rekapitalisasi yang dimiliki bank-bank itu sulit ditelusuri apakah sudah menjadi kredit atau digunakan untuk kebutuhan lain oleh bank itu. "Kita membuat lebih sederhana saja dan itu 'equal treatment' kita buat semua sama bagi semua bank," katanya.
Sebelumnya, BNI dan Bank Mandiri meminta BI memperhitungkan obligasi rekapitalisasi dari Pemerintah yang mereka miliki sebagai komponen kredit sehingga LDR mereka bisa meningkat di atas 78 persen, yang merupakan batas minimum tambahan perhitungan GWM yang berlaku sejak Maret lalu. Dirut Bank Mandiri Zulkifli Zaini beberapa waktu lalu memohon agar obligasi rekapitalisasi Pemerintah yang ada di banknya sebesar Rp 83 triliun dijadikan perhitungan kredit sehingga LDR mereka bisa naik dari 71 persen menjadi 90 persen, sehingga mereka tidak perlu menambah GMW mereka di BI.
Sementara Dirut BNI Gatot M Suwondo mengatakan jika obligasi rekapitalisasi di BNI sebesar Rp 34 triliun dijadikan hitungan kredit, maka LDR bank itu juga bisa naik dari 68,6 persen menjadi 90 persen. Aturan BI yang berlaku Maret ini mengharuskan bank memiliki LDR di antara 78-100 persen, dan memberikan disinsentif kepada bank jika LDR-nya tidak berada di antara posisi itu.
Namun, BNI dan Mandiri lebih memilih untuk dikenai disinsentif dengan menambah GWM mereka sebesar 0,1 persen setiap kekurangan atau kelebihan 1 persen dari batas 78 - 100 persen itu. Muliaman menegaskan, disinsentif yang dikenakan kepada bank dengan tambahan GMW jika LDR mereka tidak berada di kisaran 78-100 persen itu bukanlah penalti atau hukuman dana yang dibayarkan bank ke BI.
"Itu bukan bayar penalti tetapi disinsentif berupa tambahan bayar GWM dan itu uang banknya tidak hilang. Masyarakat jangan salah persepsi. Intinya kalau LDR kurang GWM harus ditambah, dan itu penting untuk menarik ekses likuiditas bank di luar kredit," katanya.
Disinsentif penambahan GWM itu, lanjutnya tidak merugikan perbankan karena uang mereka tidak hilang dan hanya berpindah menjadi penempatan di BI. "Bank hanya tidak bisa memakai itu untuk kepentingan lainnya," tambahnya.
Dijelaskan Muliaman, minimal LDR 78 persen itu merupakan batas minimal yang dianggap BI merupakan kontribusi terkecil perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, namun LDR tidak boleh terlalu tinggi yang bisa
membahayakan likuditas bank itu. "LDR 78-100 persen itu seimbang dari kepentingan makro dan mikro. Makronya harus 78 persen karena dengan itu pertumbuhan intermediasi tercapai, tetapi kalau lebih dari 100 persn bahaya karena ada risiko likuiditas," katanya.