REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jumlah nelayan tangkap tradisional di Indonesia mengalami penurunan dan sebagian di antara nelayan terpaksa beralih profesi untuk menggantungkan hidup. Berdasarkan data LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), selama satu dekade terakhir terjadi penurunan jumlah nelayan tangkap yang kini berjumlah 2,8 juta orang.
"Ada empat faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah nelayan hingga sekitar 25 persen," kata Sekretaris Jenderal Kiara, M Riza Damanik, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (6/1). Menurut Riza, faktor pertama adalah pencemaran kawasan perairan atau lautan yang menurunkan kualitas air laut dan juga kuantitas ikan.
Ia menuturkan, faktor selanjutnya merupakan semakin meningkatnya gejala liberalisasi dan privatisasi perairan pesisir di berbagai wilayah perikanan tradisional, seperti untuk reklamasi pantai dan industri pariwisata. Kemudian, faktor lainnya adalah semakin tingginya biaya produksi melaut yang harus ditanggung nelayan tradisional.
"Beban pengangguran (nelayan) yang terus meningkat belakangan ini juga akibat dari keterpurukan sektor perikanan tangkap," katanya. Sementara faktor terakhir, ujar dia, adalah kondisi cuaca yang dalam kurun waktu lima tahun terakhir berubah menjadi ekstrim akibat perubahan iklim.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, di Jakarta, Rabu, (5/1) juga mengakui bahwa perubahan iklim juga sangat berdampak pada produksi nelayan tradisional. Untuk itu, Fadel mengemukakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan segera bersinergi dengan beberapa pihak terkait seperti Kementerian Sosial untuk memberikan bantuan sosial bagi nelayan yang mengalami masa paceklik.
Ia juga memaparkan, KKP sepanjang tahun 2010 telah melakukan lima terobosan yang menonjol, yaitu penghapusan retribusi untuk meningkatkan pendapatan nelayan, kontrak produksi dengan pemerintah daerah, pengembangan minapolitan, penyediaan kecukupan BBM bersubsidi, dan jaring pengaman sosial bagi nelayan.